Sabtu, 30 April 2016

Cerpen : Sahabat Sampai ke Surga



Aku terbangun saat pancaran sinar mentari menerobos masuk ke dalam kamarku, mengucek mata seolah mencari kekuatan di sana untuk kembali ke dunia yang sesungguhnya setelah lelah mengembara di alam mimpiku. Setelah berhasil mengumpulkan semua nyawaku yang melayang entah kemana malam tadi, akhirnya aku bergegas menuju kamar mandi. Bersiap-siap untuk acara reunion SMA-ku. Setelah selesai aku bergegas masuk ke dalam mobilku dan langsung melesat ke jalanan, menghindari macet yang tiada hentinya. Tiba-tiba aku terhenyak saat mobilku menabrak sesuatu. Ternyata aku menabrak mobil orang.
“Ah, kelar hidupku hari ini.” Gumamku dalam hati.
“Zara” tiba-tiba suara itu langsung memanggil namaku saat aku membuka kaca mobilku. Aku kaget bukan kepalang, bagaimana mungkin dia bisa mengenalku, namun syukurlah mudah-mudahan dengan itu dia tidak akan meminta ganti rugi terhadap kesalahanku tadi.
“Eh, maaf siapa ya?” aku berusaha mengingat semua orang yang pernah ku kenal maupun yang baru ku kenal. Tapi nihil, aku tak mengingatnya sama sekali.
“Intan” dia memberi tahu dengan suara lembutnya sambil memancarkan senyuman yang aku rasa sudah tak asing lagi dipandanganku.
Aku berusah mengingat, “Ah, iya. Intan” aku menjawab dengan antusiasnya.
“Iya Intan, ini aku Intan Zara, masak kamu lupa sih” dia kembali meyakinkan aku namun aku tak juga mengingat wajahnya dan senyumnya yang begitu memukau, saat orang yang melihatnya tentu saja orang itu akan ketagihan untuk melihat dan terus melihatnya. Sama halnya dengan aku, aku tak sedetik pun melepaskan pandanganku dari senyum manisnya yang mengembang di bibir mungilnya itu. 
“Hehe, aku gak ingat. Intan siapa ya?” Bagaimana mungkin aku bisa mengingat orang yang sedang menatapku itu, pakaiannya syarii, bahkan aku hanya bisa melihat muka dan telapak tangannya saja sama halnya dengan aku. Sedangkan di kota kelahiranku ini aku hanya mengenal dua orang yang berpakaian seperti itu. Yang pertama ibuku dan yang kedua guru agamaku. Dan mereka semua sudah tua-tua dan sedangkan yang saat ini sedang berdiri menatapku di sebalik kaca jendela mobilku ini, masih muda sekali sebaya dengan umurku, kemungkinan 22 tahun sama denganku.
“Intan teman SMAmu, sahabatmu. Bocah tengengel. Kalo pelajaran kimia sukanya izin mulu, padahal mau ke kantin beli sarapan, kalo pas pelajaran fisika pura-pura sakit perut, kalo pelajaran matematika, guling-gulingan sama kamu” Dia menjelaskan dengan antusiasnya seolah mengembalikan kenangan yang tak pernah terlupakan itu namun perempuan yang berdiri di hadapanku ini apa mungkin dia adalah dia yag selalu bolos bareng aku dan seperti yang ia ceritakan tadi.
“Ya allah Intan, apa kabar? Alhamdulillah ya, sekarang kamu cantik banget, aku aja sampek gak kenal loh tadi.” Kataku sembari keluar dari mobil dan memeluknya.
“Alhamdulillah sehat.”
***
Aku adalah gadis periang yang selalu membuat kerusuhan di kelas. Semua guru mengenalku. Aku begitu terkenal di sekolahku ini. Iya terkenal dengan kejahilannya. Oh ya dalam menjalankan kejahilanku aku tak sendirian ada sahabatku yang selalu setia menemaniku tak hanya satu tapi dua orang. Dia adalah Intan dan Klara. Hidupku bahagia sekali karena kehadiran mereka di kehidupanku. Aku selalu menghabiskan waktu bersama mereka, kemanapun bersama mereka. Tiada hari tanpa mereka. Hanya bertiga, aku, Intan dan Klara. Menggila bersama, bahkan kegilaan inilah yang menghiasi setiap hariku. Di rumah aku tak pernah mendapatkan kebahagiaan seperti yang kudapatkan dari 2 orang sahabatku itu. Ibu dan ayahku hanya bertengkar, bekerja dan bertengkar. Tiada waktu untuk memperhatikanku atau hanya untuk sekedar bertanya “kamu udah makan nak?”. Ah, sudah lupakan tentang keluargaku.
Intan, gadis cantik berambut pirang, hidungnya mancung, disertai dengan bibir mungilnya yang selalu mengembangkan senyuman mematikan yang bisa membuat orang yang memandangnya klepek-klepek. Dia adalah primadon di sekolah ini, semua laki-laki mengejar-ngejarnya. Tapi tak satupun laki-laki yang bisa mengambil hatinya. Intan tidak memakai jilbab, karena baginya memakai jilbab itu risih dan panas, lagian dia juga belum siap katanya. Oh ya ada lagi katanya “buat apa pake jilbab buat nutupin kedok kejahatan gitu, lagian aku bukan orang baik” dia menjelaskan dengan angkuhnya. Sebenarnya aku kurang setuju dengan pendapatnya, walau bagaimanapun aku harus menutup auratku meskipun aku menutupnya belum sempurna. Tentang tingkah lakuku itu semua diluar kewajiban yang harus dilaksanakan. Tak usah menunggu baik dulu baru mau menggunakan jilbab. Kalau menunggu sampai baik, sampai kapan? Sedangkan kematian tiap hari menghampiri kita.
Klara, gadis imut bertubuh ramping yang kerap disapa ara ini, mengunakan jilab sama denganku tapi pakaiannya itu bagaikan tak memakai pakaian. Bahkan lelak-lekuk tubuhnya tergambar jelas disebaik baju ketat yang selalu ia gunakan.
“Woy, ntan. Kamu udah punya pacar ya?”tanyaku penasaran setelah melihat Display Picture BBMnya tadi malam. Bagaimana tidak, Intan yang terkenal tertutup dengan laki-laki kini berfoto begitu mesranya dengan laki-laki yang tak ku kenal.
“Iya, maaf ya baru kasi tahu. Namanya Anto, anaknya pendiam. Aku suka banget. Dia anak baru anak IPS, aku kemaren bertemu dengannya waktu mau berangkat ke sekolah lagi nungguin angkot, eh tiba-tiba dia kasi tebengan, ya udah aku mau lagian aku udah terlambat. Terus dia minta PIN aku. Sepulang sekolah dia juga ngajakin jalan bareng. Terus nembak aku. Ya udah aku terima, abis manis banget, pendiam, cool banget lagi. Pokoknya aku suka banget.” Intan menjelaskan panjang lebar.
Aku dan Klara hanya mendengarkannya tanpa berkata sepatah kata pun, mengucapkan selamat pun tidak. Aku dan Klara tau bahwa ini adalah awal jarak antara aku, Klara dan Intan. Aku dan Klara juga takut dengan sahabat kami itu, karena walaupun kami jahil selalu dihukum tapi aku dan Klara dan bahkan Intan pun tahu bahwa pacaran itu banyak mudharatnya dan agama benar-benar melarang itu.
Seminggu setelah kejadian itu, hubungan antara aku, Klara dan Intan memang begitu renggang. Aku kini hanya bersama Klara, sedangkan Intan kemanapun berdua bersama Anton, pacarnya.
“Zara, sepi banget ya kita, gak ada Intan, biasanya kita sama-sama sekarang tinggal berdua. Aku kangen dia.”
“Iya sama aku juga” aku menjawab datar lalu kembali melahap nasi goring, makan kesukaanku itu.
***
Memasuki bulan ketiga, hubungan Intan dan Anton renggang. Pernah aku melihat, waktu itu di kelasnya Anton. Anton lagi berdua-duaan dengan perempuan yang aku yakin sekali bukan Intan. Romantis sekali bahkan sama Intan saja tak pernah seromantis itu.
***
Pagi itu semua sibuk dengan PR fisika yang bu Rina berikan minggu lalu, begitu juga dengan aku, aku dan Klara sibuk mencari contekan. Namun saat aku melihat ke arah Intan. Intan lusuh banget hari ini. Seperti tak bermaya. Penampilannya acak-acakkan. Matanya semabab bagaikan terkena sengatan lebah, ketara sekali meskipun dari jauh.
“Intan, kamu kenapa?” ucapku melas.
“Intan kamu sakit ya?” disambung Klara dengan suara cemperengnya.
Intan langsung menghambur ke pelukanku. Aku kaget sekali. Air matanya tumpah lagi sampai merembes di seragamku. “Aku putus sama Anton, dia mutusin aku, padahal aku sayang banget sama dia. Dia nyelingkuhin aku. Terus tiba-tiba dia mutusin aku, dia bilang udah gak cocok.” Sambil terisak-isak dia menjelaskan. “Aku nyesel udah terjebak sama pesonanya, aku nyesel. Aku gak mau lagi pacaran, manisnya bentar dong, sakitnya yang lebih banyak. Dia juga udah berani-beraninya megang tangan aku, padahal tangan aku cuma buat suami aku dong. Aku nyesel sekarang aku udah gak suci lagi.”
Aku dan Klara saling berpandangan, lalu kami tertawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak hanya karena dipegang tangannya jadi gak suci lagi, benar-benar konyol.
“Kok kalian tertawa, aku sedih ni. Huaaaaaaa.” Tangisnya pecah lagi membuat semua mata memandang ke arah kami.
“Bukannya apa ya Ntan, kalau cuma dipegang sih gak bakalan hilang kok sucinya paling cuma batal wudhu haha, tapi jangan pegang-pegang tangan lagi ya, haram loh, ntar Allah marah.” Jelasku sambil tertawa-tawa kecil.
***
“Zaraaa, kok melamun sih”. Aku terhenyak dari lamunanku sambil tersenyum.
“Aku ingat jaman jahilnya kita dulu, gak nyangka sekarang kamu jadi muslimah sejati gini”
“Ini semua kan karena kamu dan Ara juga, kamu juga udah panjangan aja jilbabnya dari yang dulu, hehe.”
“Oh ya, ngomong-ngomong Ara gimana ya, aku jadi penasaran ni.”
“Iya sama aku juga penasaran ni.”
“Kamu mau ke acara reunion kan? Bareng yuk, soal mobil kamu maaf ya, nanti aku ganti rugi deh”
“Eh gak usah gak papa”.
“Alhamdulillah, untung aja padahal aku lagi kering banget” batinku.
Intan segera masuk ke mobilnya dan aku menyusulnya di belakang. Sesampainya di sana, aku juga kaget melihat sahabatku Ara, kini dia juga sudah sama seperti aku dan Intan. Berdiri dengan mantapnya sambil menuggu kami dengan jilbab lebarnya yang menjulur sampai ke bawah dada.
“Semoga persahabatan kita sampai ke syurga ya sahabat-sahabatku” batinku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar