Siang
itu, ia terlihat berbeda dari biasanya. Lebih cerah, dari matanya terpancar
aura yang siapa saja melihatnya pasti akan menyangka bahwa ia sedang bahagia.
Aura yang sekitar setahun kebelakang ini tak satupun orang bisa menemukannya di
sebalik mata sayunya itu, bahkan lingkaran hitam di bawah matanya kini telah
berkurang walaupun masih terlihat. Dulu, mata yang selalu menandakan bahwa
empunya lelah. Mata yang menyimpan seribu duka di dalamnya, namun tiada satupun
yang dapat menyelami dalamnya duka yang ia derita.
Dengan
baju muslim bercorak bunga-bunga, dipadu dengan jilbab berwarna senada. Ia
semakin terlihat indah dengan pancaran senyumnya, seakan membawa siapa saja
yang melihatnya masuk ke dalam zona bahagia yang tengah ia rasakan. Dengan
membawa surat yasin ia menelusuri tempat ayahnya di makamkan sekitar 5 bulan
yang lalu. Setelah sampai di makam ayahnya, ia membersihkan rerumputan di
sekitar makam ayahnya, rumput liar yang tumbuh merata mengelilingi makam yang masih
dalam masa pertumbuhan. Kemudian terdengar samar-samar lantunan surah yasin
dari bibir mungilnya yang diolesnya dengan warna lipstick sesuai dengan warna
kulitnya, pink. Kemudian tetes demi tetes air mata itu mulai membasahi pipinya.
Pilu itu kembali hadir bersama awan mendung yang diiringi suara burung-burung
kecil yang berhinggap di sebalik pohon akasia tua yang berada tepat di depan
makam ayahnya, ia tak dapat lagi membendung rasa sakit itu bila teringat
ayahnya, ayahnya yang selalu dirinduinya.
“Aku
masih di sini abah, masih berdiri tegak di sini. Dengan semangat yang masih
menggebu-nggebu. Aku putrimu yang kuat. Abah aku merindukanmu, ibu aku juga
merindukanmu. Aku masih sama seperti yang dulu, putrimu yang manja. Aku janji
aku akan sukses dan aku janji aku gak akan sombong bah seperti yang selalu abah
katakan. Ibu, abah semoga nanti kita dipersatukan lagi di Syurga-Nya. Aamiin.”
Air matanya semakin deras membasahi jilbab yang terjulur kebawah sampai dadanya
itu. Diusapnya air mata yang tersisa di pipi tembemnya, sambil menutup yasin
yang sudah selesai ia baca. Kemudian ia pergi dengan mata sembab, yang
mengisahkan jiwa yang sepi tanpa kasih sayang dari orang tuanya lagi. Hidupnya
terasa hampa. Bagaikan balon, tampak berisi namun hampa.
Ia
adalah Aishi, gadis kecil yang selalu dihadapkan dengan masalah yang tiada
habisnya. Gadis kecil yang ketika berusia 4 tahun sudah ditinggal ibunya
menghadap illahi. Gadis kecil yang kini tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik
yang solehah bak bidadari surga yang selalu menebarkan kebaikan kepada siapapun
yang ditemuinya, mirip sekali seperti ibunya. Ibunya yang pergi bersama calon
adik bungsunya, meninggal akibat pendarahan yang hebat saat mengandung 8 bulan.
Setelah kepergian ibunya, kini ayahnya lah yang menjadi ayah sekaligus ibu
untuknya dan kakak-kakaknya.
***
“Abah”
teriaknya sampai seisi rumah bergegar dengan suara cemprengnya. Karena tak
mendapat respon dari abahnya, ia langsung berlari ke kebun yang letaknya di
belakang rumah sederhana berwarna pink warna kesukaannya. Rumah yang ayahnya
bangun lewat keringat dan usahanya sendiri selama beberapa tahun ini.
“Aishi,
jangan lari-lari nak nanti kamu jatuh. Abah di sini lagi nyiram sawi. Kok kamu
teriak-teriak gitu sih, bikin abah kaget.” Ucapnya setengah berteriak karena
jarak dengan putrinya lumayan jauh. Sambil meletakkan ember yang berisi air
untuk sawi-sawinya yang subur, ia menghampiri putrinya di pondok tua yang hampir
roboh.
“Abah,
lihat Aishi dapat juara 1 lagi bah.” Ucapnya sambil menunjukkan raport yang
kini sudah berpindah tangan ke tangan abahnya. Tangan yang selama ini mencari
nafkah demi keperluan anak-anaknya. Tangan yang tiada hentinya siang malam
menjadi penompang hidup untuk keluarganya. Tangan yang akan menjadi saksi
begitu keras pengorbanannya selama ini sehingga bisa kembali menjalani hidup
sebagaimana orang lain. Dulu pertama kalinya mereka sekeluarga datang ke Kota
Gurindam, kota yang menyimpan sejarah Melayu lama ini. Mereka benar-benar dalam
keadaan krisis ekonomi. Ayahnya rela menjual kebun demi memperbaiki nasib di kota
yang terkenal akan makanan yang menjadi ciri khasnya, yaitu siput gonggong.
Kota kecil yang kurang dari 200.000 jiwa ini. Ditempat ini mereka mengadaikan
nasib, itupun setelah mendapat saran dari Pak de nya dan mendapat tawaran
mereka akan tinggal di rumah Pak de nya. Namun malangnya setelah uang hasil
jualan kebun itu lenyap, mereka diusir dari kediaman pak de nya. Malang
sungguh.
“Abah
bangga nak.” Ucap ayahnya dengan matanya yang berkaca-kaca namun ia tak
menetaskan air matanya karena ia tak ingin melihat putrinya itu sedih lagi,
setelah apa yang mereka alami selama ini. Ia hanya ingin melihat putrinya
bahagia. Kebahagiaan yang belum sempat ia berikan sepenuhnya untuk keluarganya.
“Abah
sayang sama kamu nak” sambungnya lagi sambil memeluk erat putri bungsunya itu
seakan putrinya adalah berlian yang harganya sangat menggiurkan bahkan lebih
dari itu.
“Aishi
sayang abah juga. Abah sehat terus ya.” Ucap Aishi yang tak tahan lagi
membendung air matanya, yang selalu teringat akan masa lalunya yang kelam. Masa
dimana mereka tinggal di Kijang. Di kedalaman hutan, yang bila dari jalan besar
masuk perempatan sekitar 100 meter lalu masuk lagi ke lorong semak belukar yang
jaraknya sama, kurang lebih 100 meter. Tidak ada tetangga, tidak ada penerangan
hanya ada lampu minyak dari kaleng bekas yang kerap menemani malam-malam panjang
mereka. Masa dimana ayahnya hanya bekerja sebagai pemecah batu.
“Bah
makan yuk, Aishi lapar.” Aishi mengajak ayahnya makan, makanan yang telah
abahnya masak sejak tadi pagi sebelum pergi berkebun. Masakkan abahnya yang
tidak kalah dengan chef-chef terkenal yang ada di restoran mahal meskipun
makanan yang ia masak hanyalah masakan kampung biasa saja, tapi soal rasa tak
perlu diragukan lagi. Jempol deh buat ayahnya.
Setelah
selesai makan, Asihi segera berganti pakaian. Ia akan pergi bekerja di konter
milik guru ngajinya. Gajinya sebulan hanya 400, bekerja dari pukul 3 sore
sampai 11 malam. Namun gaji itu sudah lebih dari cukup. Ia tak sempat menikmati
indahnya masa remaja sebagaimana layaknya remaja yang lainnya, ia menghabiskan
waktu remajanya dengan bekerja sambil belajar di sela-sela waktu lenggangnya.
Ia terpaksa mencari penghasilan karena tuntunan pelajaran yang berat, yang
mengharuskannya bolak balik ke warnet ditambah lagi ayahnya yang selalu
sakit-sakitan dan mengharuskannya membeli obat demi kesehatan ayahnya.
Dari
uang saku dan tabungannya kini Aishi bisa membeli laptop sendiri dan memiliki
banyak novel dari penulis terkenal. Namun 3 bulan sebelum kelulusan ia terpaksa
berhenti bekerja karena harus fokus dengan ujian nasionalnya. Namun malangnya
setelah jatuh ditimpa tangga pula, penyakit ayahnya semakin parah. Ia mulai
kehilangan konsentrasinya. Ia sering bolos terobosan karena harus menjaga
ayahnya yang sedang sakit.
Sebagai
seorang yag cerdas tentu saja, Aishi punya mimpi yang begitu besar, yaitu
menjadi pakar ekonomi. Dua bulan sebelum ujian nasional dilaksanakan Aishi
mendapat surat panggilan yang menyatakan ia lulus dan diterima menjadi
mahasiswa di Universitas Riau. Namun sayangnya ia harus mengubur mimpinya
karena penyakit ayahnya semakin parah, yang mengharuskannya untuk selalu
menjaga ayahnya setiap saat. Setelah kelulusan, Aishi hanya di rumah menjaga
ayahnya meskipun banyak tawaran beasiswa dan tawaran pekerjaan yang begitu
menggiurkan. Namun ia tetap memilih menjaga ayahnya di rumah sedangkan
kakak-kakaknya mencari uang untuk biaya pengobatan ayahnya di rumah sakit.
“Abah,
abah makan ya. Satu suapan saja.” Ucapnya dengan nada pilu. Ayahnya menelan
satu suapan, kemudian terdiam. Aneh tak seperti biasanya, biasa ayahnya selalu
memuntahkan apa saja yang masuk ke dalam mulutnya. Tapi pagi ini ayahnya hanya
diam. Aishi mulai panik. Digoncang-goncangnya tubuh ayahnya. Namun ayahnya
tetap saja diam.
“Kak,
abah kak. Abah kenapa?” tangisnya pecah membuat kakaknya yang sedang memasak
segera mencari arah suara itu. Dilihatnya ayahnya, dan ternyata ayahnya telah
tiada.
“Sabar
dik, abah udah tenang disana.” Sambil memeluk adik bungsunya namun tangisnya
juga pecah melebur menjadi satu dengan teriakan Aishi. Hati Aishi hancur, bukan
ini akhir yang diinginkannya, setelah hampir setahun merawat ayahnya ia ingin
melihat ayahnya sehat kembali, tertawa bersama di bawah pohon rindang yang ada
di belakang rumahnya, menceritakan kekonyolan teman-temannya sewaktu di
sekolah.
Lama
sekali ia dan kakak-kakaknya bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya memang telah
tiada. Aishi hidup bagaikan raga yang tak berjiwa, kosong. Hanya melamun,
menangis dan melamun. Tiada hari tanpa ia lewatkan dengan mengunjungi makam ayahnya,
hanya itu. Ia menutup dirinya dengan dunia luar.
Namun
setelah 5 bulan kepergian ayahnya, ia mulai bisa menerima kenyataan, ia mulai
bekerja di salah satu perusahaan. Ia mulai membuka diri lagi dengan dunia luar.
Mencoba membuka kembali jaringan pertemanannya dan kini ia siap mejalani
hari-hari seperti dulu tanpa kehadiran ayahnya lagi di sisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar