Minggu, 08 Mei 2016

Cerpen : Rindu yang Menyelinap Dalam Kalbu



Siang itu, ia terlihat berbeda dari biasanya. Lebih cerah, dari matanya terpancar aura yang siapa saja melihatnya pasti akan menyangka bahwa ia sedang bahagia. Aura yang sekitar setahun kebelakang ini tak satupun orang bisa menemukannya di sebalik mata sayunya itu, bahkan lingkaran hitam di bawah matanya kini telah berkurang walaupun masih terlihat. Dulu, mata yang selalu menandakan bahwa empunya lelah. Mata yang menyimpan seribu duka di dalamnya, namun tiada satupun yang dapat menyelami dalamnya duka yang ia derita.
Dengan baju muslim bercorak bunga-bunga, dipadu dengan jilbab berwarna senada. Ia semakin terlihat indah dengan pancaran senyumnya, seakan membawa siapa saja yang melihatnya masuk ke dalam zona bahagia yang tengah ia rasakan. Dengan membawa surat yasin ia menelusuri tempat ayahnya di makamkan sekitar 5 bulan yang lalu. Setelah sampai di makam ayahnya, ia membersihkan rerumputan di sekitar makam ayahnya, rumput liar yang tumbuh merata mengelilingi makam yang masih dalam masa pertumbuhan. Kemudian terdengar samar-samar lantunan surah yasin dari bibir mungilnya yang diolesnya dengan warna lipstick sesuai dengan warna kulitnya, pink. Kemudian tetes demi tetes air mata itu mulai membasahi pipinya. Pilu itu kembali hadir bersama awan mendung yang diiringi suara burung-burung kecil yang berhinggap di sebalik pohon akasia tua yang berada tepat di depan makam ayahnya, ia tak dapat lagi membendung rasa sakit itu bila teringat ayahnya, ayahnya yang selalu dirinduinya.
“Aku masih di sini abah, masih berdiri tegak di sini. Dengan semangat yang masih menggebu-nggebu. Aku putrimu yang kuat. Abah aku merindukanmu, ibu aku juga merindukanmu. Aku masih sama seperti yang dulu, putrimu yang manja. Aku janji aku akan sukses dan aku janji aku gak akan sombong bah seperti yang selalu abah katakan. Ibu, abah semoga nanti kita dipersatukan lagi di Syurga-Nya. Aamiin.” Air matanya semakin deras membasahi jilbab yang terjulur kebawah sampai dadanya itu. Diusapnya air mata yang tersisa di pipi tembemnya, sambil menutup yasin yang sudah selesai ia baca. Kemudian ia pergi dengan mata sembab, yang mengisahkan jiwa yang sepi tanpa kasih sayang dari orang tuanya lagi. Hidupnya terasa hampa. Bagaikan balon, tampak berisi namun hampa.
Ia adalah Aishi, gadis kecil yang selalu dihadapkan dengan masalah yang tiada habisnya. Gadis kecil yang ketika berusia 4 tahun sudah ditinggal ibunya menghadap illahi. Gadis kecil yang kini tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik yang solehah bak bidadari surga yang selalu menebarkan kebaikan kepada siapapun yang ditemuinya, mirip sekali seperti ibunya. Ibunya yang pergi bersama calon adik bungsunya, meninggal akibat pendarahan yang hebat saat mengandung 8 bulan. Setelah kepergian ibunya, kini ayahnya lah yang menjadi ayah sekaligus ibu untuknya dan kakak-kakaknya.
***
“Abah” teriaknya sampai seisi rumah bergegar dengan suara cemprengnya. Karena tak mendapat respon dari abahnya, ia langsung berlari ke kebun yang letaknya di belakang rumah sederhana berwarna pink warna kesukaannya. Rumah yang ayahnya bangun lewat keringat dan usahanya sendiri selama beberapa tahun ini.
“Aishi, jangan lari-lari nak nanti kamu jatuh. Abah di sini lagi nyiram sawi. Kok kamu teriak-teriak gitu sih, bikin abah kaget.” Ucapnya setengah berteriak karena jarak dengan putrinya lumayan jauh. Sambil meletakkan ember yang berisi air untuk sawi-sawinya yang subur, ia menghampiri putrinya di pondok tua yang hampir roboh.
“Abah, lihat Aishi dapat juara 1 lagi bah.” Ucapnya sambil menunjukkan raport yang kini sudah berpindah tangan ke tangan abahnya. Tangan yang selama ini mencari nafkah demi keperluan anak-anaknya. Tangan yang tiada hentinya siang malam menjadi penompang hidup untuk keluarganya. Tangan yang akan menjadi saksi begitu keras pengorbanannya selama ini sehingga bisa kembali menjalani hidup sebagaimana orang lain. Dulu pertama kalinya mereka sekeluarga datang ke Kota Gurindam, kota yang menyimpan sejarah Melayu lama ini. Mereka benar-benar dalam keadaan krisis ekonomi. Ayahnya rela menjual kebun demi memperbaiki nasib di kota yang terkenal akan makanan yang menjadi ciri khasnya, yaitu siput gonggong. Kota kecil yang kurang dari 200.000 jiwa ini. Ditempat ini mereka mengadaikan nasib, itupun setelah mendapat saran dari Pak de nya dan mendapat tawaran mereka akan tinggal di rumah Pak de nya. Namun malangnya setelah uang hasil jualan kebun itu lenyap, mereka diusir dari kediaman pak de nya. Malang sungguh.
“Abah bangga nak.” Ucap ayahnya dengan matanya yang berkaca-kaca namun ia tak menetaskan air matanya karena ia tak ingin melihat putrinya itu sedih lagi, setelah apa yang mereka alami selama ini. Ia hanya ingin melihat putrinya bahagia. Kebahagiaan yang belum sempat ia berikan sepenuhnya untuk keluarganya.
“Abah sayang sama kamu nak” sambungnya lagi sambil memeluk erat putri bungsunya itu seakan putrinya adalah berlian yang harganya sangat menggiurkan bahkan lebih dari itu.
“Aishi sayang abah juga. Abah sehat terus ya.” Ucap Aishi yang tak tahan lagi membendung air matanya, yang selalu teringat akan masa lalunya yang kelam. Masa dimana mereka tinggal di Kijang. Di kedalaman hutan, yang bila dari jalan besar masuk perempatan sekitar 100 meter lalu masuk lagi ke lorong semak belukar yang jaraknya sama, kurang lebih 100 meter. Tidak ada tetangga, tidak ada penerangan hanya ada lampu minyak dari kaleng bekas yang kerap menemani malam-malam panjang mereka. Masa dimana ayahnya hanya bekerja sebagai pemecah batu.
“Bah makan yuk, Aishi lapar.” Aishi mengajak ayahnya makan, makanan yang telah abahnya masak sejak tadi pagi sebelum pergi berkebun. Masakkan abahnya yang tidak kalah dengan chef-chef terkenal yang ada di restoran mahal meskipun makanan yang ia masak hanyalah masakan kampung biasa saja, tapi soal rasa tak perlu diragukan lagi. Jempol deh buat ayahnya.
Setelah selesai makan, Asihi segera berganti pakaian. Ia akan pergi bekerja di konter milik guru ngajinya. Gajinya sebulan hanya 400, bekerja dari pukul 3 sore sampai 11 malam. Namun gaji itu sudah lebih dari cukup. Ia tak sempat menikmati indahnya masa remaja sebagaimana layaknya remaja yang lainnya, ia menghabiskan waktu remajanya dengan bekerja sambil belajar di sela-sela waktu lenggangnya. Ia terpaksa mencari penghasilan karena tuntunan pelajaran yang berat, yang mengharuskannya bolak balik ke warnet ditambah lagi ayahnya yang selalu sakit-sakitan dan mengharuskannya membeli obat demi kesehatan ayahnya.
Dari uang saku dan tabungannya kini Aishi bisa membeli laptop sendiri dan memiliki banyak novel dari penulis terkenal. Namun 3 bulan sebelum kelulusan ia terpaksa berhenti bekerja karena harus fokus dengan ujian nasionalnya. Namun malangnya setelah jatuh ditimpa tangga pula, penyakit ayahnya semakin parah. Ia mulai kehilangan konsentrasinya. Ia sering bolos terobosan karena harus menjaga ayahnya yang sedang sakit.
Sebagai seorang yag cerdas tentu saja, Aishi punya mimpi yang begitu besar, yaitu menjadi pakar ekonomi. Dua bulan sebelum ujian nasional dilaksanakan Aishi mendapat surat panggilan yang menyatakan ia lulus dan diterima menjadi mahasiswa di Universitas Riau. Namun sayangnya ia harus mengubur mimpinya karena penyakit ayahnya semakin parah, yang mengharuskannya untuk selalu menjaga ayahnya setiap saat. Setelah kelulusan, Aishi hanya di rumah menjaga ayahnya meskipun banyak tawaran beasiswa dan tawaran pekerjaan yang begitu menggiurkan. Namun ia tetap memilih menjaga ayahnya di rumah sedangkan kakak-kakaknya mencari uang untuk biaya pengobatan ayahnya di rumah sakit.
“Abah, abah makan ya. Satu suapan saja.” Ucapnya dengan nada pilu. Ayahnya menelan satu suapan, kemudian terdiam. Aneh tak seperti biasanya, biasa ayahnya selalu memuntahkan apa saja yang masuk ke dalam mulutnya. Tapi pagi ini ayahnya hanya diam. Aishi mulai panik. Digoncang-goncangnya tubuh ayahnya. Namun ayahnya tetap saja diam.
“Kak, abah kak. Abah kenapa?” tangisnya pecah membuat kakaknya yang sedang memasak segera mencari arah suara itu. Dilihatnya ayahnya, dan ternyata ayahnya telah tiada.
“Sabar dik, abah udah tenang disana.” Sambil memeluk adik bungsunya namun tangisnya juga pecah melebur menjadi satu dengan teriakan Aishi. Hati Aishi hancur, bukan ini akhir yang diinginkannya, setelah hampir setahun merawat ayahnya ia ingin melihat ayahnya sehat kembali, tertawa bersama di bawah pohon rindang yang ada di belakang rumahnya, menceritakan kekonyolan teman-temannya sewaktu di sekolah.
Lama sekali ia dan kakak-kakaknya bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya memang telah tiada. Aishi hidup bagaikan raga yang tak berjiwa, kosong. Hanya melamun, menangis dan melamun. Tiada hari tanpa ia lewatkan dengan mengunjungi makam ayahnya, hanya itu. Ia menutup dirinya dengan dunia luar.
Namun setelah 5 bulan kepergian ayahnya, ia mulai bisa menerima kenyataan, ia mulai bekerja di salah satu perusahaan. Ia mulai membuka diri lagi dengan dunia luar. Mencoba membuka kembali jaringan pertemanannya dan kini ia siap mejalani hari-hari seperti dulu tanpa kehadiran ayahnya lagi di sisinya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar