Rabu, 27 Juli 2016

Cerpen: Iya,Yang Pertama

Dengan kencangnya angin berhembus menghantam jendelaku yang memang sengaja belum ku tutup demi melihat bintang-bintang di langit. Kebetulan kamarku terletak di lantai dua jadi aku bisa melihat mereka dari kaca jendela kamarku. Ku liat sejenak air hujan turun begitu derasnya, dengan secepat kilat aku segera menutup jendela kamarku. Ku tutup laptopku dan aku berniat untuk tidur lebih awal malam ini, ku pandangi jam beker bertuliskan la tahzan pemberian dari kak Aisy saat ulangtahunku yang ke 19 beberapa bulan yang lalu. Entah kenapa, kak aisy memberiku jam bertuliskan la tahzan yang berarti jangan bersedih, saat ku tanya kenapa. Jawaban kak Aisy selalu sama. “Ah kamu ini, katanya pengemar detective conan. Ayo dong buktiin, detective cengeng”. Jawabnya sambil tersenyum. Masih ku ingat jelas senyum yang begitu menenangkan terpancar dari wajahnya tak seperti biasanya senyum kali ini lebih menenangkan saat siapapun yang memandangnya. Dengan mata sayu sekaligus bulu mata panjang namun lurus yang membuat kesan diwajahnya menjadi kesan tenang, ditambah lagi dengan hidung mancung serta bentuk wajah yang oval serta wajah yang selalu berseri-seri membuatku setiap kali menatapnya selalu terkagum-kagum dengan kecantikan mahkluk Allah yang satu ini yang begitu sempurna Ia ciptakan. Tak hanya itu suara yang lembut, sikap yang selalu tenang serta hampir tak pernah aku melihatnya marah kepadaku atau kepada siapapun, sekedar kesal pun aku tak pernah melihat itu diwajahnya. Andai aku laki-laki pasti sudah ku jadikan istri. Siapa yang tak mau wanita solihah seperti dirinya.
Aku membaca surah al-ikhlas, al-falaq serta an-nas. Tak lupa juga membaca ayat kursi, al-fatihah serta doa sebelum tidur pastinya. “Biasakan zikir sebelum tidur bahkan sampai tertidur supaya nanti semisal kita tak bangun lagi keesokan harinya kita mati tetap mengingatnya put.” Begitulah katanya sebelum kami tidur biasanya.
“Kak, nanti kalau kakak nikah, kakak mau kado apa dari puput. Puput pengen deh liat kakak nikah.” Kataku sambil mengupas wortel.
“Kamu ini put, emangnya kenapa harus kakak dulu, kenapa nggak kamu aja yang duluan. Kakak perhatiin ada ikhwan yang diam-diam nanya-nanyain kamu tuh ke kakak.” Jawabnya sambil memasang blender untuk membuat jus wortel kesukaannya.
“Yang bener kak, ganteng gak kak? Hafidz kak? Aduh kalo hafdiz quran gimana ni kak, aku aja ngajinya belum bener kak. Kan masih private sama kakak baru 2 hari, gimana mau jadi hafidzhah.”
“Kamu ini udah cepet-cepet kupas wortelnya.” Ucanya sambil mendekati aku lalu mengambil wortel yang telah ku kupas dan ku potong.
Tiba-tiba adzan berkumandang.
“Udah yuk, solat dulu.”
“Yah nanggung ini kak, bentar lagi juga kelar.”
“Jadi kamu mau duain Allah sama wortel? Ah, kamu ini yang bener aja. Udah yuk jadi yang pertama, di barisan pertama. Kakak gak mau ah cuma dapet telur busuk.” Ucapnya lalu masuk ke kamar mandi mengambil wudhu.
“Tapikan waktu isya masih panjang kak.” Dalihku lagi tak mau kalah.
“Udah cepet ah, kita jamaah.”
Aku meninggalkan pekerjaanku lalu menuju ke kamar mandi tapi tiba-tiba saja kakiku tergelincir dan aku tak bisa menjaga keseimbangan tubuhku.
“Buk gedebuk”
“aaaaaaaa” teriakku yang menggema membuatnya membatalkan niatnya untuk melanjutkan langkahnya.
“Astagfirullah haladzim, yuk kakak bantuin. Kok bisa sih sampek jatuh begini put.” Tanyanya dengan wajah khawatirnya.
“Hehe, Puput bandel kak, gara-gara kakak cerita tentang salah satu manfaat masuk wc pake kaki kiri, jadi puput pengen buktiin ternyata bener kak, tadi puput masuk pake kaki kanan terus lantainya licin puput gak bisa jaga keseimbangan jadi jatuh deh. Bener ya kak, kaki kanan kan lebih kuat jadi kalo sewaktu kaki kiri masuk terus lantainya licin kan kaki kanan bisa jadi penahan hehe” Jawabku sambil tersenyum malu.
“Ada-ada aja kamu ini, ntar kalo kenapa-kenapa gimana. Ya udah cepetan wudhunya, oh iya hidupin kerannya jangan kuat-kuat, islam selalu mengajarkan jangan mubazir terus kalo wudhu yang bener ya, jangan asal-asalan. Khasiat wudhu itu banyak loh put.” Jelasnya lalu meinggalkan aku.
“Kak, udah selesai ayo solat, biar Aisy jadi imamnya.” Ucapku lalu ku lihat Kak Aisy sudah tergeletak di lantai.
“Kaaaaakkk.” Teriakku.
Lalu aku tersadar dari tidurku. Ku pandangi lagi jam pemberian kak Aisy. Jam menunjukkan pukul empat.
“Kak, aku kangen deh sama kakak, kakak cepet pulang ya, atau Puput yang nyusul kakak.” Ucapku dalam lamunan. Aku tersadar lalu bergegas mebersihkan diri lalu mengerjakan solat tahajud.
Tiba-tiba aku jadi teringat sama perkataan kak Aisy, “kalo kamu tiba-tiba terbangun tengah malam, Allah yang bangunin itu put dan itu artinya Dia rindu kamu mengadu di pertigaan malam put.”
***
Sang mentari kembali dari peraduannya dengan memancarkan senyuman terindah yang pernah ia miliki menyapa burung burung yang enggan bergegas dari tempat tidurnya. Menakjubkan, kala jingga merah menyapa seisi bumi ini, aku selalu ingin berdiri di sana menikmati keindahannya.
“Cantik ya kak” kataku sambil sedikit terkagum kagum melihat keindahannya.
“Fabiayyi ala irrobikamutukadziban, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?”. Katanya sambil menikmati fonemena alam yang tiada absen ini.
Aku kembali teringat lagi pada setiap momen yang aku lalui saat awal-awal datang ke kota rantauanku ini.
Aku bergegas menuju kamar mandi kebetulan hari ini ada kuliah pagi. Setelah selesai aku bergegas menuju terminal, aku sengaja datang 1 setengah jam lebih awal sebelum perkuliahan di mulai karena disini aku harus rebutan tempat duduk dengan entah berapa banyak anak manusia yang menginginkan tempat duduk di dalam bus yang kami tumpangi. Siapa cepat dia dapat, begitulah kira-kira istilahnya. Namun hari ini aku tak bernasib baik.
“Mungkin masih banyak yang lebih membutuhkan tempat duduk ketimbang aku”. Begitulah ungkapan yang tepat untuk menghibur diriku sendiri, karena setelah berhimpit-himpitan dengan kira-kira 50 mahasiswa lainnya aku adalah 20 orang yang tersingkirkan karena bus hanya mempunyai 30 tempat duduk. Dan akhirnya aku memilih berdiri ketimbang harus menunggu bus yang lainnya.
“Tak mengapalah, hitung-hitung olahraga”. Pikirku.
***
“Kak, semalem ada yang minta PIN BB ku loh kak.” Ucapku membuat ia menoleh ke arahku meninggalkan sejenak pandangan yang begitu menakjubkan. Berbagai warna hijau dedaunan serta air di sepanjang sungai tempat berkecipung hewan aves, dan tak kalah warna langit yang memang sangat menawan. Biru. Indah sekali. Terasa cocok dengan pandangan mata yang melihatnya.
“Siapa? Laki-laki apa perempuan?” Tanyanya mulai menginterogasiku.
“Ya laki-lakilah kak, kalo perempuan mah ngapain aku ceritain ke kakak, gakpenting banget deh. Ya jelaslah laki-laki. Ganteng kak. Putih, hidung mancung, rambutnya aduh kak aku suka banget kayaknya sih halus banget kak, lurus pula rambutnya. Gendut tapi ya nggak gendut-gendut amat sih kak. Kakak tau nggak kalo aku itu suka banget laki-laki gempal-gempal gimana gitu abisnya gemesin kak. Comellah. Terus kece badai kak tapi …”. Aku mulai bercerita.
“Tapi apa?” tanyanya lagi yang mulai penasaran.
“Tapi udah punya pacar kak.” Aku tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah kak Aisy yang begitu menggemaskan.
“Loh terus ngapain dia minta PIN kamu?”
 “Soalnya dia ketua tingkat kelas kami kak hehe”.
“eh, tuhkan kakak jadi kepo. Puput dalam islam gak ada ya yang istilahnya pacaran.”
“Taaruf kak. Gak papa kepo sama Puput, kepo kan tandanya peduli kak” Jawabku.
“Taaruf gimana, sayang-sayangan terus jalan berdua, makan berdua, pegangan tangan. Padahal tiada ikatan apapun, itu taaruf?” tanyanya sedikit tegas namun tetap santai sambil mengalihkan pandangannya dariku dan melemparkan pandangannya ke luar jendela kaca bus.
“Ada kok kak ikatan namanya pacaran, hehe”. Dalihku seolah tak sependapat dengan argumennya.
“Iya deh, iya deh. Gak ada namanya pacaran. Jomblo fii sabilillah. Jomblo sampai halal.” Timpalku lagi.
***
“Astagfirullah haladzim” gumamku saat bus kami tiba-tiba rem mendadak, aku terbuyar dari lamunanku.
Ternyata kami telah sampai, kampus masih sepi sekali. Bus kami adalah yang pertama sampai di kampus yang permai ini, sejenak aku melihat ke sekeliling benar-benar sepi, aku duduk di kursi yang sengaja di sediakan kampus dengan beberapa mahasiswa lainnya yang satu fakultas denganku. Saat mereka lebih memilih bercanda, bercerita dengan temannya. Aku malah memilih untuk melamun.
***
“Kak, kakak pernah pacaran?” Tanyaku tiba-tiba saat kami memilih diam beberapa menit yang lalu.
“Kamu fikir?”
“Nggak.”
“Kenapa kamu berfikiran seperti itu?”
“Ya jelaslah, kakak agamanya mantep gini masak pernah pacaran. Nggak deh, nggak mungkin.”
“Kakak pernah, nah gimana dong?”
“Boong deh kakak.”
“Orang baik punya masa lalu, orang jahat punya masa depan. Put, kamu jangan suka langsung menilai seseorang mentah-mentah gitu aja. Kakak pernah pacaran dulu, kakak gak sebaik yang kamu fikirkan. Dulu pernah 3 tahun yang lalu sebelum kakak hijrah. Kakak ceritain ini tapi di ambil hikmahnya aja jangan di contoh ya. Dulu, kakak pacaran sama ya dia deh cowo yang pasti, lama put 2 tahunan ada. Seneng susah kita sama-sama, kisah kasih di sekolah gitu ceritanya kalo kata chrisye.”
“Terus kak.”
“Ya terus kita putus gara-gara, bosan yang berkepanjangan, jadwal yang padet gak sempet makan berdua, jalan berdua ya gitu deh soalnya kita sama-sama sibuk belajar mau deket UN kan. Kita satu sekolah cuma beda kelas. Ya pokoknya komunikasi udah minim banget tapi masih. Selesai UN kakak fikir udah selesai penderitaan kami ternyata nggak, kami harus LDR. Kita diterima beda Universitas beda kota pula. Pas malam itu, kita berantem lupa apa penyebabnya. Sama-sama gak ada yang mau ngalah sampe kita bener-bener lost kontak. Terus tiba-tiba beberapa minggu kemudian dia mutusin kakak sepihak gitu aja. Kakak kecewa berat Put, semingguan ada Put, kakak meratapi itu. Terus ditambah lagi kakak denger dia udah dapet yang lain. Itu yang pertama Put, pacar pertama, sakit hati pertama. Pokoknya kakak trauma banget deh yang namanya pacaran. Awalnya kakak tau pacaran itu gak boleh, namun ya namanya manusia tempatnya salah dan khilaf ya kakak terjerumus. Lama deh prosesnya bangkit lagi, sampai pada akhirnya di kota ini kakak menemukan jalan terang dan kakak bisa hijrah.”
“Gak nyangka ya kak.”
“Iya Put, Kakak iri deh sama kamu Put, kamu aja gak pernah pacaran. Nanti kalo nikah enak kalo ditanya suami aku orang pertama mi?”
“Iya bi, kamu yang pertama dalam hidupku yang memberikan cahaya dalam kegelapanku selama ini. Kan enak kan di denger coba kakak, aduh bi aku pernah pacaran, kau bukan laki-laki pertama yang menabur benih benih cinta di dalam hati ini, maaf bi.” Jawabnya sok puitis.
“Caileh, bisa ngelawak juga kak Aisy” Jawabku sambil terkekeh mendengar ceritanya.
“ Eh bisa dong.”
***
“Ngelamun terus”. Ucap teman yang duduk disebelahku sambil menyenggol lenganku.
“Biarin”. Jawabku karena kaget dengan tindakannya yang spontan.
Suasana kelas hari ini begitu riuh karena pada sibuk mengerjakan tugas mata kuliah matematika, sulit sekali. Aku saja bahkan meminta bantuan temanku yang jago sekali matematika.
“Cie yang pulang kampung semalam, mana oleh-olehnya.” Ucap teman sekelasku pada temanku yang lain yang baru pulang kampung semalam karena kakaknya menikah. Tiba-tiba aku jadi teringat sama percakapanku dengannya.
“astagfirullah haladzim kakak, ngagetin loh. Gak bilang-bilang kalo mau pulang.”
“Eits surprise, nih dari ibu. Di makan yuk, eh tadi kakak assalamu alaikum ya, kamu aja yang gak denger nih apa nih.” Sambil menarik headsetku.
Malam ini kak Aisy mengajakku keluar. Kami berjalan kaki, biar seru katanya karena pasar malam yang ingin kami kunjungi tak jauh dari kos tempat tinggal kami. Ku tatap bintang-bintang dilangit, indahnya. Aku ingin berlama-lama memandangi mereka.
“Kita jalan gini, biar nanti kalau kakak gak ada bisa jadi kenangan terindah put”. Kak Aisy mulai membuka suara saat sudah puas memandangi bintang yang bertaburan di langit mala mini.
“Kakak mah gitu ngomongnya”. Ucapku sambil menyenggol lengannya.
“Yuk ah, udahlah liat bintangnya. Pasar malam yuk beli jajanan.” Katanya sambil beranjak meninggalkanku.
Kak Aisy malam ini lebih banyak tertawa, bahkan baru kali ini aku bisa menyaksikan canda dan tawanya setelah hampir 5 bulan tinggal bersamanya. Baru aku paham bahwa orang pendiam seperti kak Aisy ini butuh waktu untuk yang lama untuk bisa nyaman sama orang. Ku lihat giginya yang tersusun rapi terbungkus oleh bibir yang mungilnya itu terbuka lebih lebar lagi saat tawanya pecah melihat kekonyolanku. Aku merasa bahagia sekali, karena akhirnya aku merasa memiliki kakak dalam hidupku. Tak seburuk yang ku fikirkan, ternyata Kak Aisy bukan jenis diktator dan emosian sperti yang ku bayangkan dan mendengar cerita teman-temanku tentang kakaknya yang selalu bikin sakit hati.
“Nanti kalau kakak gak bangun, bangunin kakak ya shubuh nanti. Mau jadi yang pertama datang soalnya”. Ucap kak Aisy yang sudah ku pahami bahwa ia selalu ingin solat tepat waktu.
“Sip deh kak, Puput malem ini gak tidur mau pacaran sama tugas. Siap deh pokoknya.” Jawabku namun tak melihat kearahnya karena masih terfokus pada laptopku.
“Kebiasaan kamu ini Put.”
“Hehe, anak sekolahan mah gitu kak.”
            Tak ada jawaban dari Kak Aisy, ternyata ia sudah terlelap, begitu menenangkan bahkan dalam tidurnya sekalipun. Malam ini aku bekerja keras menyiapkan tugas yang sememangnya besok harus dikumpulkan. Sepi sekali pikirku. Entah kenapa kak Aisy mala mini memilih tidur lebih awal. “Tentu saja karena kelelahan perjalanan dari kampung tadi” pikirku.
            Jam menunjukkan pukul 4 aku berniat untuk membangunkan kak Aisy solat malam.
            “Kak, bangun kak.” Aku memanggilnya pelan namun tiada jawaban. Aneh biasanya sekali saja dia sudah bangun.
            “Kak.” Panggilku lagi sambil mendekatinya, namun nihil taka da jawaban juga.
            “Kak Aisy kelelahan sekali sepertinya, biar sajalah nanti subuh saja baru aku bangunin.” Pikirku beranjak meninggalkannya.
            Azan subuh berkumandang dan aku berniat membangunkan Kak Aisy.
            “Kak bangun, udah subuh”. Sambil ku goyang-goyang tubuhnya, namun ia tetap tak kunjung membuka mata.
            “Sekali-sekali kerjain kak Aisy ah”. Gumamku sambil tetawa nakal.
Aku mulai mencari cara agar bisa ngusilin Kak Aisy. Akhirnya aku menggedor-gedor pintu kamar kami, lama juga ku gedor namun kak Aisy tak juga terbangun. Aku mulai panik, ku goncang-goncang lagi tubuhnya namun lebih keras dari yang tadi. Aku mulai tersadar, dan tubuhku mulai bergetar. Tetes demi tetes mulai berjatuhan air mataku. Aku benar-benar lemas sekali, seakan tak sanggup untuk menopang tubuhku sendiri.
            “Kakak, jadi yang pertama kak. Orang pertama yang ada di hidup Puput yang begitu berarti dan meninggalkan Puput.” Aku mulai berbicara dengan suara bergetar dan akhirnya aku menangis sejadi-jadinya di samping tubuhnya yang kaku.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar