Dengan
kencangnya angin berhembus menghantam jendelaku yang memang sengaja belum ku
tutup demi melihat bintang-bintang di langit. Kebetulan kamarku terletak di
lantai dua jadi aku bisa melihat mereka dari kaca jendela kamarku. Ku liat
sejenak air hujan turun begitu derasnya, dengan secepat kilat aku segera
menutup jendela kamarku. Ku tutup laptopku dan aku berniat untuk tidur lebih
awal malam ini, ku pandangi jam beker bertuliskan la tahzan pemberian dari kak Aisy
saat ulangtahunku yang ke 19 beberapa bulan yang lalu. Entah kenapa, kak aisy
memberiku jam bertuliskan la tahzan yang berarti jangan bersedih, saat ku tanya
kenapa. Jawaban kak Aisy selalu sama. “Ah kamu ini, katanya pengemar detective
conan. Ayo dong buktiin, detective cengeng”. Jawabnya sambil tersenyum. Masih
ku ingat jelas senyum yang begitu menenangkan terpancar dari wajahnya tak
seperti biasanya senyum kali ini lebih menenangkan saat siapapun yang
memandangnya. Dengan mata sayu sekaligus bulu mata panjang namun lurus yang
membuat kesan diwajahnya menjadi kesan tenang, ditambah lagi dengan hidung
mancung serta bentuk wajah yang oval serta wajah yang selalu berseri-seri
membuatku setiap kali menatapnya selalu terkagum-kagum dengan kecantikan
mahkluk Allah yang satu ini yang begitu sempurna Ia ciptakan. Tak hanya itu suara
yang lembut, sikap yang selalu tenang serta hampir tak pernah aku melihatnya
marah kepadaku atau kepada siapapun, sekedar kesal pun aku tak pernah melihat
itu diwajahnya. Andai aku laki-laki pasti sudah ku jadikan istri. Siapa yang
tak mau wanita solihah seperti dirinya.
Aku
membaca surah al-ikhlas, al-falaq serta an-nas. Tak lupa juga membaca ayat
kursi, al-fatihah serta doa sebelum tidur pastinya. “Biasakan zikir sebelum
tidur bahkan sampai tertidur supaya nanti semisal kita tak bangun lagi keesokan
harinya kita mati tetap mengingatnya put.” Begitulah katanya sebelum kami tidur
biasanya.
“Kak,
nanti kalau kakak nikah, kakak mau kado apa dari puput. Puput pengen deh liat
kakak nikah.” Kataku sambil mengupas wortel.
“Kamu
ini put, emangnya kenapa harus kakak dulu, kenapa nggak kamu aja yang duluan.
Kakak perhatiin ada ikhwan yang diam-diam nanya-nanyain kamu tuh ke kakak.”
Jawabnya sambil memasang blender untuk membuat jus wortel kesukaannya.
“Yang
bener kak, ganteng gak kak? Hafidz kak? Aduh kalo hafdiz quran gimana ni kak,
aku aja ngajinya belum bener kak. Kan masih private sama kakak baru 2 hari,
gimana mau jadi hafidzhah.”
“Kamu
ini udah cepet-cepet kupas wortelnya.” Ucanya sambil mendekati aku lalu
mengambil wortel yang telah ku kupas dan ku potong.
Tiba-tiba
adzan berkumandang.
“Udah
yuk, solat dulu.”
“Yah
nanggung ini kak, bentar lagi juga kelar.”
“Jadi
kamu mau duain Allah sama wortel? Ah, kamu ini yang bener aja. Udah yuk jadi
yang pertama, di barisan pertama. Kakak gak mau ah cuma dapet telur busuk.”
Ucapnya lalu masuk ke kamar mandi mengambil wudhu.
“Tapikan
waktu isya masih panjang kak.” Dalihku lagi tak mau kalah.
“Udah
cepet ah, kita jamaah.”
Aku
meninggalkan pekerjaanku lalu menuju ke kamar mandi tapi tiba-tiba saja kakiku tergelincir
dan aku tak bisa menjaga keseimbangan tubuhku.
“Buk
gedebuk”
“aaaaaaaa”
teriakku yang menggema membuatnya membatalkan niatnya untuk melanjutkan
langkahnya.
“Astagfirullah
haladzim, yuk kakak bantuin. Kok bisa sih sampek jatuh begini put.” Tanyanya dengan
wajah khawatirnya.
“Hehe,
Puput bandel kak, gara-gara kakak cerita tentang salah satu manfaat masuk wc
pake kaki kiri, jadi puput pengen buktiin ternyata bener kak, tadi puput masuk
pake kaki kanan terus lantainya licin puput gak bisa jaga keseimbangan jadi jatuh
deh. Bener ya kak, kaki kanan kan lebih kuat jadi kalo sewaktu kaki kiri masuk
terus lantainya licin kan kaki kanan bisa jadi penahan hehe” Jawabku sambil
tersenyum malu.
“Ada-ada
aja kamu ini, ntar kalo kenapa-kenapa gimana. Ya udah cepetan wudhunya, oh iya
hidupin kerannya jangan kuat-kuat, islam selalu mengajarkan jangan mubazir
terus kalo wudhu yang bener ya, jangan asal-asalan. Khasiat wudhu itu banyak
loh put.” Jelasnya lalu meinggalkan aku.
“Kak,
udah selesai ayo solat, biar Aisy jadi imamnya.” Ucapku lalu ku lihat Kak Aisy
sudah tergeletak di lantai.
“Kaaaaakkk.”
Teriakku.
Lalu
aku tersadar dari tidurku. Ku pandangi lagi jam pemberian kak Aisy. Jam
menunjukkan pukul empat.
“Kak,
aku kangen deh sama kakak, kakak cepet pulang ya, atau Puput yang nyusul
kakak.” Ucapku dalam lamunan. Aku tersadar lalu bergegas mebersihkan diri lalu
mengerjakan solat tahajud.
Tiba-tiba
aku jadi teringat sama perkataan kak Aisy, “kalo kamu tiba-tiba terbangun
tengah malam, Allah yang bangunin itu put dan itu artinya Dia rindu kamu
mengadu di pertigaan malam put.”
***
Sang
mentari kembali dari peraduannya dengan memancarkan senyuman terindah yang
pernah ia miliki menyapa burung burung yang enggan bergegas dari tempat
tidurnya. Menakjubkan, kala jingga merah menyapa seisi bumi ini, aku selalu
ingin berdiri di sana menikmati keindahannya.
“Cantik
ya kak” kataku sambil sedikit terkagum kagum melihat keindahannya.
“Fabiayyi
ala irrobikamutukadziban, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau
dustakan?”. Katanya sambil menikmati fonemena alam yang tiada absen ini.
Aku
kembali teringat lagi pada setiap momen yang aku lalui saat awal-awal datang ke
kota rantauanku ini.
Aku
bergegas menuju kamar mandi kebetulan hari ini ada kuliah pagi. Setelah selesai
aku bergegas menuju terminal, aku sengaja datang 1 setengah jam lebih awal
sebelum perkuliahan di mulai karena disini aku harus rebutan tempat duduk
dengan entah berapa banyak anak manusia yang menginginkan tempat duduk di dalam
bus yang kami tumpangi. Siapa cepat dia dapat, begitulah kira-kira istilahnya.
Namun hari ini aku tak bernasib baik.
“Mungkin
masih banyak yang lebih membutuhkan tempat duduk ketimbang aku”. Begitulah
ungkapan yang tepat untuk menghibur diriku sendiri, karena setelah
berhimpit-himpitan dengan kira-kira 50 mahasiswa lainnya aku adalah 20 orang
yang tersingkirkan karena bus hanya mempunyai 30 tempat duduk. Dan akhirnya aku
memilih berdiri ketimbang harus menunggu bus yang lainnya.
“Tak
mengapalah, hitung-hitung olahraga”. Pikirku.
***
“Kak,
semalem ada yang minta PIN BB ku loh kak.” Ucapku membuat ia menoleh ke arahku
meninggalkan sejenak pandangan yang begitu menakjubkan. Berbagai warna hijau
dedaunan serta air di sepanjang sungai tempat berkecipung hewan aves, dan tak kalah warna langit yang
memang sangat menawan. Biru. Indah sekali. Terasa cocok dengan pandangan mata
yang melihatnya.
“Siapa?
Laki-laki apa perempuan?” Tanyanya mulai menginterogasiku.
“Ya
laki-lakilah kak, kalo perempuan mah ngapain aku ceritain ke kakak, gakpenting
banget deh. Ya jelaslah laki-laki. Ganteng kak. Putih, hidung mancung, rambutnya
aduh kak aku suka banget kayaknya sih halus banget kak, lurus pula rambutnya.
Gendut tapi ya nggak gendut-gendut amat sih kak. Kakak tau nggak kalo aku itu
suka banget laki-laki gempal-gempal gimana gitu abisnya gemesin kak. Comellah.
Terus kece badai kak tapi …”. Aku mulai bercerita.
“Tapi
apa?” tanyanya lagi yang mulai penasaran.
“Tapi
udah punya pacar kak.” Aku tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah kak Aisy
yang begitu menggemaskan.
“Loh
terus ngapain dia minta PIN kamu?”
“Soalnya dia ketua tingkat kelas kami kak
hehe”.
“eh,
tuhkan kakak jadi kepo. Puput dalam islam gak ada ya yang istilahnya pacaran.”
“Taaruf
kak. Gak papa kepo sama Puput, kepo kan tandanya peduli kak” Jawabku.
“Taaruf
gimana, sayang-sayangan terus jalan berdua, makan berdua, pegangan tangan.
Padahal tiada ikatan apapun, itu taaruf?” tanyanya sedikit tegas namun tetap
santai sambil mengalihkan pandangannya dariku dan melemparkan pandangannya ke
luar jendela kaca bus.
“Ada
kok kak ikatan namanya pacaran, hehe”. Dalihku seolah tak sependapat dengan
argumennya.
“Iya
deh, iya deh. Gak ada namanya pacaran. Jomblo fii sabilillah. Jomblo sampai
halal.” Timpalku lagi.
***
“Astagfirullah
haladzim” gumamku saat bus kami tiba-tiba rem mendadak, aku terbuyar dari
lamunanku.
Ternyata
kami telah sampai, kampus masih sepi sekali. Bus kami adalah yang pertama
sampai di kampus yang permai ini, sejenak aku melihat ke sekeliling benar-benar
sepi, aku duduk di kursi yang sengaja di sediakan kampus dengan beberapa
mahasiswa lainnya yang satu fakultas denganku. Saat mereka lebih memilih
bercanda, bercerita dengan temannya. Aku malah memilih untuk melamun.
***
“Kak,
kakak pernah pacaran?” Tanyaku tiba-tiba saat kami memilih diam beberapa menit
yang lalu.
“Kamu
fikir?”
“Nggak.”
“Kenapa
kamu berfikiran seperti itu?”
“Ya
jelaslah, kakak agamanya mantep gini masak pernah pacaran. Nggak deh, nggak
mungkin.”
“Kakak
pernah, nah gimana dong?”
“Boong
deh kakak.”
“Orang
baik punya masa lalu, orang jahat punya masa depan. Put, kamu jangan suka
langsung menilai seseorang mentah-mentah gitu aja. Kakak pernah pacaran dulu,
kakak gak sebaik yang kamu fikirkan. Dulu pernah 3 tahun yang lalu sebelum
kakak hijrah. Kakak ceritain ini tapi di ambil hikmahnya aja jangan di contoh
ya. Dulu, kakak pacaran sama ya dia deh cowo yang pasti, lama put 2 tahunan
ada. Seneng susah kita sama-sama, kisah kasih di sekolah gitu ceritanya kalo
kata chrisye.”
“Terus
kak.”
“Ya
terus kita putus gara-gara, bosan yang berkepanjangan, jadwal yang padet gak
sempet makan berdua, jalan berdua ya gitu deh soalnya kita sama-sama sibuk
belajar mau deket UN kan. Kita satu sekolah cuma beda kelas. Ya pokoknya
komunikasi udah minim banget tapi masih. Selesai UN kakak fikir udah selesai
penderitaan kami ternyata nggak, kami harus LDR. Kita diterima beda Universitas
beda kota pula. Pas malam itu, kita berantem lupa apa penyebabnya. Sama-sama
gak ada yang mau ngalah sampe kita bener-bener lost kontak. Terus tiba-tiba
beberapa minggu kemudian dia mutusin kakak sepihak gitu aja. Kakak kecewa berat
Put, semingguan ada Put, kakak meratapi itu. Terus ditambah lagi kakak denger
dia udah dapet yang lain. Itu yang pertama Put, pacar pertama, sakit hati
pertama. Pokoknya kakak trauma banget deh yang namanya pacaran. Awalnya kakak
tau pacaran itu gak boleh, namun ya namanya manusia tempatnya salah dan khilaf
ya kakak terjerumus. Lama deh prosesnya bangkit lagi, sampai pada akhirnya di
kota ini kakak menemukan jalan terang dan kakak bisa hijrah.”
“Gak
nyangka ya kak.”
“Iya
Put, Kakak iri deh sama kamu Put, kamu aja gak pernah pacaran. Nanti kalo nikah
enak kalo ditanya suami aku orang pertama mi?”
“Iya
bi, kamu yang pertama dalam hidupku yang memberikan cahaya dalam kegelapanku
selama ini. Kan enak kan di denger coba kakak, aduh bi aku pernah pacaran, kau
bukan laki-laki pertama yang menabur benih benih cinta di dalam hati ini, maaf
bi.” Jawabnya sok puitis.
“Caileh,
bisa ngelawak juga kak Aisy” Jawabku sambil terkekeh mendengar ceritanya.
“
Eh bisa dong.”
***
“Ngelamun
terus”. Ucap teman yang duduk disebelahku sambil menyenggol lenganku.
“Biarin”.
Jawabku karena kaget dengan tindakannya yang spontan.
Suasana
kelas hari ini begitu riuh karena pada sibuk mengerjakan tugas mata kuliah
matematika, sulit sekali. Aku saja bahkan meminta bantuan temanku yang jago
sekali matematika.
“Cie
yang pulang kampung semalam, mana oleh-olehnya.” Ucap teman sekelasku pada
temanku yang lain yang baru pulang kampung semalam karena kakaknya menikah.
Tiba-tiba aku jadi teringat sama percakapanku dengannya.
“astagfirullah
haladzim kakak, ngagetin loh. Gak bilang-bilang kalo mau pulang.”
“Eits
surprise, nih dari ibu. Di makan yuk, eh tadi kakak assalamu alaikum ya, kamu
aja yang gak denger nih apa nih.” Sambil menarik headsetku.
Malam
ini kak Aisy mengajakku keluar. Kami berjalan kaki, biar seru katanya karena
pasar malam yang ingin kami kunjungi tak jauh dari kos tempat tinggal kami. Ku
tatap bintang-bintang dilangit, indahnya. Aku ingin berlama-lama memandangi
mereka.
“Kita
jalan gini, biar nanti kalau kakak gak ada bisa jadi kenangan terindah put”.
Kak Aisy mulai membuka suara saat sudah puas memandangi bintang yang bertaburan
di langit mala mini.
“Kakak
mah gitu ngomongnya”. Ucapku sambil menyenggol lengannya.
“Yuk
ah, udahlah liat bintangnya. Pasar malam yuk beli jajanan.” Katanya sambil
beranjak meninggalkanku.
Kak
Aisy malam ini lebih banyak tertawa, bahkan baru kali ini aku bisa menyaksikan
canda dan tawanya setelah hampir 5 bulan tinggal bersamanya. Baru aku paham
bahwa orang pendiam seperti kak Aisy ini butuh waktu untuk yang lama untuk bisa
nyaman sama orang. Ku lihat giginya yang tersusun rapi terbungkus oleh bibir
yang mungilnya itu terbuka lebih lebar lagi saat tawanya pecah melihat
kekonyolanku. Aku merasa bahagia sekali, karena akhirnya aku merasa memiliki
kakak dalam hidupku. Tak seburuk yang ku fikirkan, ternyata Kak Aisy bukan
jenis diktator dan emosian sperti yang ku bayangkan dan mendengar cerita
teman-temanku tentang kakaknya yang selalu bikin sakit hati.
“Nanti
kalau kakak gak bangun, bangunin kakak ya shubuh nanti. Mau jadi yang pertama
datang soalnya”. Ucap kak Aisy yang sudah ku pahami bahwa ia selalu ingin solat
tepat waktu.
“Sip
deh kak, Puput malem ini gak tidur mau pacaran sama tugas. Siap deh pokoknya.”
Jawabku namun tak melihat kearahnya karena masih terfokus pada laptopku.
“Kebiasaan
kamu ini Put.”
“Hehe,
anak sekolahan mah gitu kak.”
Tak ada jawaban dari Kak Aisy, ternyata ia sudah
terlelap, begitu menenangkan bahkan dalam tidurnya sekalipun. Malam ini aku
bekerja keras menyiapkan tugas yang sememangnya besok harus dikumpulkan. Sepi
sekali pikirku. Entah kenapa kak Aisy mala mini memilih tidur lebih awal.
“Tentu saja karena kelelahan perjalanan dari kampung tadi” pikirku.
Jam menunjukkan pukul 4 aku berniat untuk membangunkan
kak Aisy solat malam.
“Kak, bangun kak.” Aku memanggilnya pelan namun tiada
jawaban. Aneh biasanya sekali saja dia sudah bangun.
“Kak.” Panggilku lagi sambil mendekatinya, namun nihil
taka da jawaban juga.
“Kak Aisy kelelahan sekali sepertinya, biar sajalah nanti
subuh saja baru aku bangunin.” Pikirku beranjak meninggalkannya.
Azan subuh berkumandang dan aku berniat membangunkan Kak
Aisy.
“Kak bangun, udah subuh”. Sambil ku goyang-goyang
tubuhnya, namun ia tetap tak kunjung membuka mata.
“Sekali-sekali kerjain kak Aisy ah”. Gumamku sambil
tetawa nakal.
Aku mulai mencari cara
agar bisa ngusilin Kak Aisy. Akhirnya aku menggedor-gedor pintu kamar kami,
lama juga ku gedor namun kak Aisy tak juga terbangun. Aku mulai panik, ku
goncang-goncang lagi tubuhnya namun lebih keras dari yang tadi. Aku mulai
tersadar, dan tubuhku mulai bergetar. Tetes demi tetes mulai berjatuhan air
mataku. Aku benar-benar lemas sekali, seakan tak sanggup untuk menopang tubuhku
sendiri.
“Kakak, jadi yang pertama kak. Orang pertama yang ada di hidup
Puput yang begitu berarti dan meninggalkan Puput.” Aku mulai berbicara dengan
suara bergetar dan akhirnya aku menangis sejadi-jadinya di samping tubuhnya
yang kaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar