ANALISIS
STRUKTUR DALAM CERPEN “PAK KODIR”
KARYA
KEN HANGGARA
A. Deskripsi Data
Forum Aktif Menulis (FAM) adalah organisasi
kepenulisan nasional yang bertujuan untuk menyebarkan semangat cinta menulis di
kalangan generasi muda. FAM bertekad membina anak-anak bangsa untuk cinta
menulis dan gemar membaca buku. FAM Indonesia memiliki ribuan anggota yang
tersebar di berbagai kota di Indonesia dan mancanegara khususnya di
sekolah-sekolah dan melebur di tengah masyarakat dalam berbagai kegiatan
kepenulisan.
a. Biografi
Tokoh
1.
Ken Hanggara
Ken Hanggara
(IDFAM801M, anggota Forum Aktif Menulis atau disingkat dengan FAM, Surabaya)
adalah nama pena dari Erlangga Setiawan. Penulis lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis
puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media local
maupun nasional. Ia pernah menjuarai 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young
Writer Award 2014 dan menjabat Unsa Ambassador 2015.
b. Sinopsis Cerpen “Pak Kodir” Karya
Ken Hanggara
Berkumpulnya orang-orang di masjid yang sibuk
melihat mayat Pak Kodir dalam keadaan sujud. Pak Kodir yang terkenal karena
baik hatinya dan sotonya yang enak. Berita meninggalnya langsung tersebar luas
dan orang-orang hanya menceritakan kebaikan-kebaikan yang ia lakukan selama
hidupnya. Tidak ada
yang bicara keburukan; semua kenal beliau baik dan suka memberi makan
gelandangan, pengemis, atau sesekali orang gila. Siapa pun mampir ke warungnya,
tetapi tidak bawa uang, tidak perlu khawatir, karena Pak Kodir bakal memberi
seporsi gratis buat mereka.
Bagi Pak
Mudakir, penjual gulai yang berdiri di seberang warung Pak Kodir berkata bahwa
meberi makan orang banyak itu jelas merugikan baginya. Namun Pak Kodir pada
dasarnya baik, jadi tindakan itu bukan masalah. Karena ia suka menghangatkan
perut orang.
Pak Kodir tidak memiliki anak dan istrinya sudah
meninggal. Satu kali
menikah, satu kali perpisahan karena kematian; itulah kisah asmara Pak Kodir
yang tidak mencintai dunia secara berlebih. Ia hanya bahagia hidup di dunia ini
karena di sini ia bisa berbagi.
Banyak
penjual seperti Mudakir yang heran dan tidak habis pikir; bagaimana bisa ada
penjual seperti Pak Kodir ini? Berjualan adalah cara mereka menyambung hidup,
tetapi berjualan cara Pak Kodir seperti tidak masuk akal. Lagi pula,
satu-satunya rezeki beliau cuma dari jualan soto.
Para
pedagang lain berfikir bahwa pak mudakir punya pesugihan, bahkan mereka
berfikir bahwa semua kebaikannya hanya sebagai penutup kedoknya yang suka pergi
ke dukun. Namun dugaan itu tidak terbukti karena ia selalu ke masjid, tidak ada
yang sesering itu pergi ke masjid selain Pak Kodir.
Pernah
suatu pagi ia mendapat uang kembalian yang besar dari ibu-ibu dan pernah juga
ia memberi makan bocah pengamen, anak itu bercerita ke semua orang dan tersebar
luaslah cerita kebaikannya dan enaknya soto yang ia jual.
Begitulah
cara aneh Tuhan membalas kebaikan Pak Kodir, hingga orang-orang menemukan niat
Pak Kodir yang akan membangun masjid di daerah tempat tinggalnya. Semua orang
merasa kehilangan Pak Kodir dan semua orang yang menuduh ia merasa bersalah
karena dugaan itu benar-benar tak terbukti.
Setelah
ditemukan meninggal, mayatnya langsung dikuburkan. Toni selalu bertanya tentang
bagaimana Pak Kodir menata niat seperti itu namun beliau selalu menjawabnya
dengan kalimat bahwa Kita punya rahasia dengan Allah. Dia Maha Tahu dan kita
tidak tahu apa-apa. Dia sudah tahu apa yang kita niatkan dan lakukan apa yang
menurut kita biak. Niat tidak perlu diumbar, yang penting menghasilkan kebaikan
buat orang sekitar.
B.
Analisis Data
1.
Cerpen
“Pak Kodir” karya Ken Hanggara
a.
Struktur
Cerpen
1)
Alur
Untuk
menemukan struktur alur yang digunakan oleh pengarang di dalam cerpen ini,
peneliti berusaha melihat rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerpen.
Rangkaian peristiwa tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Orang-orang berkumpul di masjid, melihat
tontonan mayat Pak Kodir dalam posisi sujud.
2.
Kabar meninggalnya Pak Kodir langsung
tersebar luas dan semua orang hanya menceritakan semua kebaikannya.
3.
Kebaikan-kebaikan Pak Kodir semasa hidup
mulai diungkit kembali.
3.1 Bagi Pak Mudakir memberi orang makan secara gratis itu rugi.
3.2 Namun
Pak Kodir malah suka membagikan sotonya secara gratis.
3.3 Istri pak Kodir sudah lama meninggal dan ia
tak memiliki anak, hanya sekali menikah. Begitulah kisah asramanya yang tidak
mencintai dunia secara berlebihan.
3.4 Orang-orang sering memanfaatkan kebaikan Pak
Kodir dengan sengaja mengatakan bahwa mereka tak membawa dompet dan gratislah
makanan yang mereka santap.
3.5
Ada juga orang-orang yang secara
langsung meminta soto gratis dan Pak Kodir melayaninya sama dengan yang
membayar.
3.6 Pak Mudakir dan pedagang lainnya heran
dengan Pak Kodir yang suka memberi makan gratis pada pelanggannya yang lupa
membawa dompet.
3.7 Pedagang lain berfikir bahwa Pak Kodir
punya pesugihan karena penghasilannya hanya dari berjualan soto di pertigaan
jalan tersebut.
3.8
Bahkan ada yang berfikir membagikan
soto secara gratis adalah kedok Pak Kodir untuk menutupi keburukannya yang
sering ke dukun.
3.9
Namun
dugaan Pak Kodir punya pesugihan tak terbukti karena ia selalu ke masjid.
3.10 Pak Kodir malah tertawa dan beristigfar saat
ia tahu orang-orang mengatakan bahwa ia punya pesugihan.
3.11 Suatu hari ada ibu-ibu membeli soto untuk
anaknya karena terburu-buru uang kembaliannya untuk Pak Kodir.
3.12 Pernah juga Pak Kodir memberi makan anak
pengamen lalu berita tentang lezatnya soto miliknya tersebar luas.
3.13 Ada saja cara aneh Tuhan membalas kebaikan Pak
Kodir.
4. Pak Kodir punya niat untuk membangun mesjid
dan niat Pak Kodir itu hanya ditulisnya di selembar kertas di dalam dompet
miliknya, orang-orang menemukannya dan ketahuanlah rencana Pak Kodir itu.
5. Warga
kampung akhirnya sadar bahwa Pak Kodir tidak punya pesugihan dan merasa
kehilangan.
6. Setelah
ditemukan meninggal dalam posisi sujud, jasadnya langsung di kuburkan.
7. Si
tokoh aku (Toni) bingung bagaimana bisa
menata niat seperti Pak Kodir.
8. Pak
Kodir selalu menjawab pertanyaan Toni berupa niat tidak perlu diumbar
lakukanlah yang baik-baik saja. Lakukanlah yang bermanfaat bagi orang lain
karena Allah Maha Tahu.
1 2 4
5 6 7
8
Bagan 4.1 Urutan Sekuen Cerpen “Pak Kodir”
Bulatan yang tidak tertutup menunjukkan
ingatan tokoh aku (Toni) tentang kebaikan-kebaikan Pak Kodir semasa hidup,
sedangkan angka menunjukkan sekuen. Cerpen ini terdiri dari 8 sekuen berada
pada saat penceritaan, dan 13 sekuen
berada pada sorot balik (3.1-3.13), jadi
seluruhnya ada 21 sekuen. Apabila diperhatikan, jumlah sekuen pada sorot balik
(13 sekuen) lebih banyak daripada jumlah sekuen pada saat penceritaan. Maka
jelaslah bahwa secara kronologis alur cerpen ini disusun menggunakan alur
mundur atau sorot balik. Pada bagian awal cerpen ini menceritakan tentang
orang-orang yang berkumpul karena melihat mayat Pak Kodir dalam posisi sujud,
berita meninggalnya langsung tersebar luas. Orang-orang hanya menceritakan
kebaikannya, kebaikan yang berupa selalu memberikan soto gratis pada
pelanggannya, namun pedagang lain berfikir bahwa Pak Kodir punya pesugihan
karena satu-satunya penghasilan Pak Kodir dari berjualan soto. Semua
kebaikannya itu hanya kedoknya agar terlihat baik untuk menutupi keburukannya
yang sering ke dukun, namun dugaan itu jelas tidak benar karena Pak Kodir
selalu ke masjid dan rajin beribadah. Setelah ditemukan meninggal tidak butuh
waktu lama Pak Kodir sudah dikuburkan dan semua yang menuduhnya menyesal dan
merasa kehilangan sosoknya. Toni (aku) bingung bagaimana menata niat seperti
yag dilakukan Pak Kodir dan Pak Kodir selalu menjawab pertanyaannya dengan
pernyataan bahwa niat tak perlu diumbar dan lakukan hal yang baik dan bermanfaat
bagi orang lain, Allah yang mengatur karena Allah Maha Mengetahui.
2)
Penokohan
a.
Pak Kodir
Pak Kodir
merupakan sosok orang yang baik dan suka menolong. Ia selalu memberikan soto
gratis pada orang yang dompetnya ketinggalan saat makan sotonya dan suka membagikan
sotonya secara gratis bila sotonya tidak terjual habis.
“Begitu
hafalnya watak orang akan tabiat nyaris malaikat dari Pak Kodir, maka tak
jarang orang memanfaatkannya.”
Pelanggan
soto kadang sengaja datang tidak membawa dompet. Begitu selesai makan,
beralasan, "Waduh, Pak, dompet ketinggalan nih!"
Dan
Pak Kodir pun melambaikan tangan, "Santai. Berarti itu rezekimu."
Berdasarkan
kutipan di atas menunjukkan bahwa Pak Kodir adalah orang yang baik dan suka
menolong sesama. Cerpen ini juga memaparkan bahwa Pak Kodir tidak memiliki anak
dan istinya sudah lama meninggal dunia, tinggallah ia sebata kara. Selain itu,
dalam cerpen ini juga dipaparkan bahwa Pak Kodir orang yang soleh, rajin
beribadah dan yang pasti selalu pergi ke masjid. Bahkan Pak Kodir punya niat
untuk membangun masjid dari uang hasil jualan sotonya. Hal ini terungkap dari
pernyataan Pak Kodir saat ia mendengar fitnah dari orang yang mengatakan ia
punya pesugihan.
"Orang
seharusnya tahu, rezeki ini datang dari Allah. Diturunkan dari langit, dan
keluar dari perut bumi. Semua yang kita kerjakan, semua yang kita doakan,
selalu ada balasan yang setimpal," kata Pak Kodir, jika ada yang bercerita
bagaimana orang-orang curiga ia memiliki pesugihan. Pak Kodir
tertawa dan istighfar beberapa kali.
3) Latar
Ruang lingkup sebuah karya sastra fiksi hakikatnya
adalah keberadaan sebuah dunia yang dibangun oleh si pengarang. Latar
menyangkut ruang dimana peristiwa itu berlangsung. Oleh karena itu, latar tidak
hanya merupakan bentukan sebuah tempat yang diciptakan; melainkan ruang waktu
dan latar budaya bisa saja muncul dalam latar itu. Pada bagian latar ini akan
diuraikan latar tempat dan latar waktu yang menjadi latar dari peristiwa yang
dialami oleh para tokoh di dalam cerpen ini. Latar tersebut akan diuraikan
sebagai berikut.
a. Latar
tempat
Masjid merupakan ruang bergerak dalam cerpen ini. Di
dalam masjid tersebut pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta peristiwa
yang dialami oleh para tokoh. Hal ini
dapat dilihat dari saat pertama si pengarang membuka cerita.
“Orang-orang berkumpul di masjid pagi
itu, menonton seorang ahli ibadah sedang berada dalam posisi sujud selama lebih
dari satu jam. Tentu saja beliau sudah mangkat. Orang memanggilnya Pak Kodir.
Sehari-hari jualan soto di pertigaan dan semua orang kenal soto ayamnya yang
lezat. Jadi, ketika kabar ini merebak, orang-orang pun berpikir, "Siapa
yang jual soto seenak itu lagi, ya?"
Dari kutipan di atas terlihat bahwa di masjid
merupakan tempat pertama yang digunakan pengarang saat memulai cerpennya.
Kemudian pengarang menceritakan kembali kebaikan-kebaikan Pak Kodir semasa
hidup yang berjualan soto di pertigaan, tempat dimana ia mencari nafkah untuk
dirinya sendiri karena ia tidak meiliki anak dan istrinya sudah meninggal.
Kemudian ada juga saat di pemakaman, tapi hanya beberapa peristiwa saja sebagai
pendukung, terlihat dari kutipan berikut.
“Tidak
butuh waktu lama, setelah ditemukan mangkat dalam posisi
sujud, jasad itu telah diuruk tanah dan batu nisan telah tertancap dengan
tulisan: Pak Kodir bin Jaelani. Di bawah ada tanggal lahir dan tanggal beliau
wafat. Ditulis secara sederhana, dengan torehan huruf agar berantakan, karena
yang menulis itu tidak kuat menahan tangisnya. Padahal, ia dianggap paling
tegar, karena semua yang di sana tidak bisa menulis lebih baik. Orang-orang
gemetar begitu hebatnya, hingga ada yang tak kuat berdiri.”
b. Latar waktu
Latar
waktu digunakan dengan tujuan melukiskan kapan suatu peristiwa terjadi. Latar
waktu pada cerpen ini sangat erat kaitannya dengan latar tempat yang sudah
dipaparkan sebelumnya. Latar waktu dalam cerpen ini dimulai pada waktu pagi
hari saat orang-orang sedang berkumpul
melihat tontonan mayat Pak Kodir dalam posisi sujud di dalam masjid. Latar
waktu yang mengatakan kejadiannya terjadi pada pagi hari terlihat jelas pada
kutipan berikut.
“Pagi
itu menjadi pagi paling mengharukan; kematian Pak Kodir membuat banyak orang
kehilangan dan di kepala mereka terbayang masjid baru yang pernah dimimpikan
seorang penjual soto. Sebuah masjid dengan kubah putih berkilau, yang di
dalamnya selalu penuh orang-orang beribadah dan berdoa.”
Latar waktu yang ditampilkan dalam kutipan di atas
sangat menunjang suasana haru yang sedang di alami oleh para tokoh karena
meninggalnya tokoh utama. Namun pengarang mengembalikan lagi ingatannya semasa
Pak Kodir masih sehat dan masih berjualan soto di pertigaan. Kemudian mengembalikan
lagi ingatannya pada saat penguburan Pak Kodir.
Namun, secara umum latar waktu yang
ditampilkan dalam cerpen ini meliputi pagi dan siang hari. Latar tempat dan
latar waktu di atas sangat berpengaruh terhadap alur cerita. Keduanya
menunjukkan adanya kelogisan cerita karena setiap peristiwa tidak akan pernah
terlepas dari latar tempat dan waktu.
4) Tema
Tema merupakan pokok
permasalahan atau konflik sentral yang terkandung di dalam cerpen. Karena tema
cerita tidak secara langsung disampaikan oleh pengarang, maka untuk mempermudah
menentukan tema, peneliti mencoba mengemukakan konflik utama yang mendukung
terbentuknya sebuah tema. Konflik tersebut adalah sebagai berikut.
“Banyak
penjual seperti Mudakir yang heran dan tidak habis pikir; bagaimana bisa ada penjual
seperti Pak Kodir ini? Berjualan adalah cara mereka menyambung hidup, tetapi
berjualan cara Pak Kodir seperti tidak masuk akal. Lagi pula, satu-satunya
rezeki beliau cuma dari jualan soto.”
"Beda
kalau Pak Kodir jualan apa gitu di rumahnya, selain soto di
warung dekat pertigaan itu," kata seseorang.
"Dan
beda lagi kalau punya bisnis jualan baju gaul via online,"
kata yang lain.
Begitu
banyak asumsi bahwa Pak Kodir mungkin punya pesugihan di
rumahnya sehingga uangnya selalu saja ada dan rezekinya seperti mengalir tiada
henti. Mungkin beliau membagi soto secara serampangan agar semua orang
menganggapnya orang baik, padahal aslinya bejat dan senang pergi ke dukun.
Berdasarkan
kutipan di atas jelaslah bahwa tema yang diangkat oleh pengarang dalam cerpen
ini menyangkut permasalahan tidak percayanya
manusia pada Tuhannya atas rezeki
yang telah diatur oleh-Nya. Namun tokoh Pak Kodir membuktikan bahwa rezeki itu
memang sudah diatur olehnya, kita sebagai manusia hanya berusaha dan berbuat
baiklah sebanyak-banyaknya. Ini terlihat jelas pada kutipan berikut.
“Begitulah
cara 'aneh' yang Tuhan tunjukkan demi membalas kebaikan seorang Pak Kodir. Pak Kodir sendiri tidak pernah
berharap balasan mendadak semacam ini dan beliau memberi makan orang cuma untuk
membahagiakan sesama. Uang itu akan beliau olah lagi menjadi soto dan sebagian
ditabungnya untuk sebuah rencana besar: membangun satu masjid di dekat tempat
tinggalnya, sebab masjid yang biasa ia tempati untuk salat dan mengaji sudah
begitu tua dan nyaris roboh. Tidak ada yang inisiatif merenovasi atau apalah.”
LAMPIRAN OBJEK PENELITIAN
LAMPIRAN OBJEK PENELITIAN
Pak Kodir Karya Ken Hanggara
Orang-orang berkumpul di masjid pagi
itu, menonton seorang ahli ibadah sedang berada dalam posisi sujud selama lebih
dari satu jam. Tentu saja beliau sudah mangkat. Orang memanggilnya Pak Kodir.
Sehari-hari jualan soto di pertigaan dan semua orang kenal soto ayamnya yang
lezat. Jadi, ketika kabar ini merebak, orang-orang pun berpikir, "Siapa
yang jual soto seenak itu lagi, ya?"
Meninggalnya Pak Kodir segera jadi
kabar yang melesat ke segala arah. Tidak ada yang bicara keburukan; semua kenal
beliau baik dan suka memberi makan gelandangan, pengemis, atau sesekali orang
gila. Siapa pun mampir ke warungnya, tetapi tidak bawa uang, tidak perlu khawatir,
karena Pak Kodir bakal memberi seporsi gratis buat Anda (kalau mau lebih juga
boleh). Meski begitu, sotonya laris manis dan beliau tidak pernah rugi.
"Memberi makan orang sebanyak
itu, kalau saya, wah...ya rugi!" kata Pak Mudakir, penjual gulai kambing yang
warungnya berdiri persis di seberang warung Pak Kodir.
Tapi memang dasarnya Pak Kodir baik,
tindakan ini bukan masalah. Beliau senang karena bisa menghangatkan perut
orang.
"Perut hangat adalah bagian
dari kehidupan, meski kita tidak disuruh untuk hidup dengan mengenyangkan diri.
Maksudnya, makan secukupnya, asal perut kita ini hangat. Dengan demikian,
kehidupan berjalan lancar," begitu kata beliau semasa hidup.
Pak Kodir meyakini, hidup bukan
untuk makan, tetapi makanlah untuk hidup. Jadi, beliau senang melihat sesama
makhluk hidup bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan. Dengan begitu, mereka
yang tidak kelaparan itu memiliki tenaga untuk beribadah. Pak Kodir
kadang-kadang membagikan beberapa mangkuk sotonya gratis. Pernah juga satu hari
hanya laku beberapa mangkuk, sisanya tandas oleh mereka yang tak berduit, dan
beliau pulang dengan senyum mengembang.
Orang tidak heran Pak Kodir bisa
berbuat sebaik ini, tanpa ada yang protes. Istri sudah meninggal beberapa tahun
lalu. Anak-anak? Beliau tidak pernah punya anak. Satu kali menikah, satu kali
perpisahan karena kematian; itulah kisah asmara Pak Kodir yang tidak mencintai
dunia secara berlebih. Ia hanya bahagia hidup di dunia ini karena di sini ia
bisa berbagi.
Begitu hafalnya watak orang akan
tabiat nyaris malaikat dari Pak Kodir, maka tak jarang orang memanfaatkannya.
Pelanggan soto kadang sengaja datang tidak membawa dompet. Begitu selesai
makan, beralasan, "Waduh, Pak, dompet ketinggalan nih!"
Dan Pak Kodir pun melambaikan
tangan, "Santai. Berarti itu rezekimu."
Kadang-kadang ada juga yang malah
secara langsung, tanpa sungkan, menadahkan tangan meminta dua piring nasi soto
karena sangat kelaparan. Pak Kodir pun melayani orang semacam ini sebagaimana
ia melayani mereka yang membayar. Beliau memang tidak pernah pandang bulu.
Banyak penjual seperti Mudakir yang
heran dan tidak habis pikir; bagaimana bisa ada penjual seperti Pak Kodir ini?
Berjualan adalah cara mereka menyambung hidup, tetapi berjualan cara Pak Kodir
seperti tidak masuk akal. Lagi pula, satu-satunya rezeki beliau cuma dari
jualan soto.
"Beda kalau Pak Kodir jualan
apa gitu di rumahnya, selain soto di warung dekat pertigaan
itu," kata seseorang.
"Dan beda lagi kalau punya
bisnis jualan baju gaul via online," kata yang lain.
Begitu banyak asumsi bahwa Pak Kodir
mungkin punya pesugihan di rumahnya sehingga uangnya selalu
saja ada dan rezekinya seperti mengalir tiada henti. Mungkin beliau membagi
soto secara serampangan agar semua orang menganggapnya orang baik, padahal
aslinya bejat dan senang pergi ke dukun.
Dugaan ini, sayang sekali, tidak
pernah terbukti. Setiap hari Pak Kodir selalu ke masjid. Tidak ada yang pergi
ke masjid sesering beliau. Beliau berjualan soto dari jam delapan pagi hingga
jam dua siang. Dan sisa waktu itu, lebih banyak beliau habiskan di masjid.
Beliau berada lebih lama di rumah apabila sedang tidur atau memasak soto pada
dini hari sebelum azan subuh. Masjid seperti rumah kedua. Ia juga selalu
mengaji dan kadang-kadang menjadi imam salat. Tidak ada ciri orang suka pergi
ke dukun pada diri Pak Kodir.
"Orang seharusnya tahu, rezeki
ini datang dari Allah. Diturunkan dari langit, dan keluar dari perut bumi.
Semua yang kita kerjakan, semua yang kita doakan, selalu ada balasan yang
setimpal," kata Pak Kodir, jika ada yang bercerita bagaimana orang-orang
curiga ia memiliki pesugihan. Pak Kodir tertawa dan istighfar beberapa
kali.
Tentu saja, penjual soto ini tidak
pakai cara salah. Ia berjualan soto seperti biasa; hanya saja orang tidak tahu
ketika setiap kali semangkuk soto yang beliau bagikan pada siapa pun, selalu
kembali sepuluh kali lipat dari nilai laba semangkuknya.
Misal suatu pagi seorang ibu-ibu
turun dari mobil dan memesan sebungkus soto ayam untuk menyambut calon menantu.
Katakanlah ibu tersebut melakukan ini darurat. Ibu ini membayar dengan uang
lebih besar dan pergi setelah mengatakan terima kasih berkai-kali karena soto
Pak Kodir menolongnya keluar dari situasi malu.
Atau pernah juga begini: Pak Kodir
memberi makan bocah pengamen, lalu anak itu bercerita ke semua orang hingga
sampailah cerita kebaikan penjual soto pada seorang pemilik rental mobil. Orang
itu lalu membeli soto beliau dan merasakan sotonya sangat enak. Ia katakan pada
teman-temannya, "Soto ayam di dekat pertigaan itu enak banget. Cobain
saja."
Lalu berbondong-bodonglah, beberapa
hari kemudian, orang-orang yang diketahui sebagai teman pemilik rental mobil.
Karena sotonya enak, mereka memaksa Pak Kodir menerima bayaran lebih besar.
"Soto ini mengingatkan masa
muda saya," kata salah seorang.
"Soto ini memberi saya ide
bagaimana jadi pengusaha baik, yang dekat dengan Tuhannya," kata orang
kedua.
Begitulah cara 'aneh' yang Tuhan
tunjukkan demi membalas kebaikan seorang Pak Kodir.
Pak Kodir sendiri tidak pernah
berharap balasan mendadak semacam ini dan beliau memberi makan orang cuma untuk
membahagiakan sesama. Uang itu akan beliau olah lagi menjadi soto dan sebagian
ditabungnya untuk sebuah rencana besar: membangun satu masjid di dekat tempat
tinggalnya, sebab masjid yang biasa ia tempati untuk salat dan mengaji sudah
begitu tua dan nyaris roboh. Tidak ada yang inisiatif merenovasi atau apalah.
Niat ini tidak pernah terucapkan,
kecuali ditulis di sehelai kertas di dalam dompet Pak Kodir. Ketika beliau
meninggal dan di sakunya ditemukan dompet tersebut, orang memeriksa isinya dan
ketahuanlah niat membangun masjid dari tabungan yang dipunyai selama ini.
Pagi itu menjadi pagi paling
mengharukan; kematian Pak Kodir membuat banyak orang kehilangan dan di kepala
mereka terbayang masjid baru yang pernah dimimpikan seorang penjual soto.
Sebuah masjid dengan kubah putih berkilau, yang di dalamnya selalu penuh
orang-orang beribadah dan berdoa.
Aku sendiri ikut mengurus jenazah
Pak Kodir yang bertubuh lumayan gendut, tapi beliau tidak terasa berat. Ringan
seakan menggotong beberapa keping kayu bakar yang kering. Mudakir juga mengakui
itu dan sadar fenomena macam ini berhubungan dengan perbuatan baik manusia
semasa hidup. Ia menangis sesenggukan karena dulu berburuk sangka pada Pak
Kodir.
"Kukira punya pesugihan.
Malah pernah juga kukira dia bandar togel atau apalah yang tidak halal,"
kata Mudakir pada suatu hari. Aku dengar ia berkata itu dengan wajah merah
padam.
Sekarang, begitu menangis, Mudakir
tidak bisa berucap lain selain istighfar.
***
Tidak butuh waktu lama, setelah ditemukan mangkat dalam
posisi sujud, jasad itu telah diuruk tanah dan batu nisan telah tertancap
dengan tulisan: Pak Kodir bin Jaelani. Di bawah ada tanggal lahir dan tanggal
beliau wafat. Ditulis secara sederhana, dengan torehan huruf agar berantakan,
karena yang menulis itu tidak kuat menahan tangisnya. Padahal, ia dianggap
paling tegar, karena semua yang di sana tidak bisa menulis lebih baik.
Orang-orang gemetar begitu hebatnya, hingga ada yang tak kuat berdiri.
"Siapa yang jual soto seenak
itu lagi, ya?"
Pertanyaan itu kembali terngiang
selama tujuh hari berturut-turut setelah kematian Pak Kodir. Aku pelanggan soto
ayamnya. Tetapi tidak pernah berbohong dengan bilang dompetku ketinggalan atau
dijambret orang. Aku bawa uang dan membayar soto seperti sewajarnya. Aku tidak
protes kenapa Pak Kodir sering memberi orang yang tidak dikenal makanan. Bahkan
anak jalanan yang berkelompok kadang membawa teman mereka untuk turut makan.
Aku hanya berkata, "Bagaimana
menata niat itu, Pak?"
Selalu, Pak Kodir menjawabnya dengan
santai, "Kita punya rahasia dengan Allah. Dia Maha Tahu dan kita tidak tahu apa-apa,
'kan? Dia sudah tahu apa yang kita niatkan dan lakukan apa yang menurut Nak
Toni baik. Niat tidak perlu diumbar, yang penting menghasilkan kebaikan buat
orang sekitar. Saya kira, itulah cara menata niat. Saya tidak tahu cara
menjelaskannya lebih detil. Maklum, bukan orang pinter.
Hehehe."
(Dimuat di Republika edisi Minggu, 17 April 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar