Aku
terbangun saat pancaran sinar mentari menerobos masuk ke dalam kamarku,
mengucek mata seolah mencari kekuatan di sana untuk kembali ke dunia yang sesungguhnya
setelah lelah mengembara di alam mimpiku. Setelah berhasil mengumpulkan semua
nyawaku yang melayang entah kemana malam tadi, akhirnya aku bergegas menuju
kamar mandi. Bersiap-siap untuk acara reunion SMA-ku. Setelah selesai aku
bergegas masuk ke dalam mobilku dan langsung melesat ke jalanan, menghindari
macet yang tiada hentinya. Tiba-tiba aku terhenyak saat mobilku menabrak
sesuatu. Ternyata aku menabrak mobil orang.
“Ah,
kelar hidupku hari ini.” Gumamku dalam hati.
“Zara”
tiba-tiba suara itu langsung memanggil namaku saat aku membuka kaca mobilku.
Aku kaget bukan kepalang, bagaimana mungkin dia bisa mengenalku, namun
syukurlah mudah-mudahan dengan itu dia tidak akan meminta ganti rugi terhadap
kesalahanku tadi.
“Eh,
maaf siapa ya?” aku berusaha mengingat semua orang yang pernah ku kenal maupun
yang baru ku kenal. Tapi nihil, aku tak mengingatnya sama sekali.
“Intan”
dia memberi tahu dengan suara lembutnya sambil memancarkan senyuman yang aku
rasa sudah tak asing lagi dipandanganku.
Aku
berusah mengingat, “Ah, iya. Intan” aku menjawab dengan antusiasnya.
“Iya
Intan, ini aku Intan Zara, masak kamu lupa sih” dia kembali meyakinkan aku
namun aku tak juga mengingat wajahnya dan senyumnya yang begitu memukau, saat
orang yang melihatnya tentu saja orang itu akan ketagihan untuk melihat dan
terus melihatnya. Sama halnya dengan aku, aku tak sedetik pun melepaskan
pandanganku dari senyum manisnya yang mengembang di bibir mungilnya itu.
“Hehe,
aku gak ingat. Intan siapa ya?” Bagaimana mungkin aku bisa mengingat orang yang
sedang menatapku itu, pakaiannya syarii, bahkan aku hanya bisa melihat muka dan
telapak tangannya saja sama halnya dengan aku. Sedangkan di kota kelahiranku
ini aku hanya mengenal dua orang yang berpakaian seperti itu. Yang pertama ibuku
dan yang kedua guru agamaku. Dan mereka semua sudah tua-tua dan sedangkan yang
saat ini sedang berdiri menatapku di sebalik kaca jendela mobilku ini, masih
muda sekali sebaya dengan umurku, kemungkinan 22 tahun sama denganku.
“Intan
teman SMAmu, sahabatmu. Bocah tengengel. Kalo pelajaran kimia sukanya izin
mulu, padahal mau ke kantin beli sarapan, kalo pas pelajaran fisika pura-pura
sakit perut, kalo pelajaran matematika, guling-gulingan sama kamu” Dia
menjelaskan dengan antusiasnya seolah mengembalikan kenangan yang tak pernah
terlupakan itu namun perempuan yang berdiri di hadapanku ini apa mungkin dia
adalah dia yag selalu bolos bareng aku dan seperti yang ia ceritakan tadi.
“Ya
allah Intan, apa kabar? Alhamdulillah ya, sekarang kamu cantik banget, aku aja
sampek gak kenal loh tadi.” Kataku sembari keluar dari mobil dan memeluknya.
“Alhamdulillah
sehat.”
***
Aku
adalah gadis periang yang selalu membuat kerusuhan di kelas. Semua guru
mengenalku. Aku begitu terkenal di sekolahku ini. Iya terkenal dengan kejahilannya.
Oh ya dalam menjalankan kejahilanku aku tak sendirian ada sahabatku yang selalu
setia menemaniku tak hanya satu tapi dua orang. Dia adalah Intan dan Klara.
Hidupku bahagia sekali karena kehadiran mereka di kehidupanku. Aku selalu
menghabiskan waktu bersama mereka, kemanapun bersama mereka. Tiada hari tanpa
mereka. Hanya bertiga, aku, Intan dan Klara. Menggila bersama, bahkan kegilaan
inilah yang menghiasi setiap hariku. Di rumah aku tak pernah mendapatkan
kebahagiaan seperti yang kudapatkan dari 2 orang sahabatku itu. Ibu dan ayahku
hanya bertengkar, bekerja dan bertengkar. Tiada waktu untuk memperhatikanku
atau hanya untuk sekedar bertanya “kamu udah makan nak?”. Ah, sudah lupakan
tentang keluargaku.
Intan,
gadis cantik berambut pirang, hidungnya mancung, disertai dengan bibir
mungilnya yang selalu mengembangkan senyuman mematikan yang bisa membuat orang
yang memandangnya klepek-klepek. Dia adalah primadon di sekolah ini, semua
laki-laki mengejar-ngejarnya. Tapi tak satupun laki-laki yang bisa mengambil
hatinya. Intan tidak memakai jilbab, karena baginya memakai jilbab itu risih
dan panas, lagian dia juga belum siap katanya. Oh ya ada lagi katanya “buat apa
pake jilbab buat nutupin kedok kejahatan gitu, lagian aku bukan orang baik” dia
menjelaskan dengan angkuhnya. Sebenarnya aku kurang setuju dengan pendapatnya,
walau bagaimanapun aku harus menutup auratku meskipun aku menutupnya belum
sempurna. Tentang tingkah lakuku itu semua diluar kewajiban yang harus
dilaksanakan. Tak usah menunggu baik dulu baru mau menggunakan jilbab. Kalau
menunggu sampai baik, sampai kapan? Sedangkan kematian tiap hari menghampiri
kita.
Klara,
gadis imut bertubuh ramping yang kerap disapa ara ini, mengunakan jilab sama
denganku tapi pakaiannya itu bagaikan tak memakai pakaian. Bahkan lelak-lekuk
tubuhnya tergambar jelas disebaik baju ketat yang selalu ia gunakan.
“Woy,
ntan. Kamu udah punya pacar ya?”tanyaku penasaran setelah melihat Display
Picture BBMnya tadi malam. Bagaimana tidak, Intan yang terkenal tertutup dengan
laki-laki kini berfoto begitu mesranya dengan laki-laki yang tak ku kenal.
“Iya,
maaf ya baru kasi tahu. Namanya Anto, anaknya pendiam. Aku suka banget. Dia
anak baru anak IPS, aku kemaren bertemu dengannya waktu mau berangkat ke
sekolah lagi nungguin angkot, eh tiba-tiba dia kasi tebengan, ya udah aku mau
lagian aku udah terlambat. Terus dia minta PIN aku. Sepulang sekolah dia juga
ngajakin jalan bareng. Terus nembak aku. Ya udah aku terima, abis manis banget,
pendiam, cool banget lagi. Pokoknya aku suka banget.” Intan menjelaskan panjang
lebar.
Aku
dan Klara hanya mendengarkannya tanpa berkata sepatah kata pun, mengucapkan selamat
pun tidak. Aku dan Klara tau bahwa ini adalah awal jarak antara aku, Klara dan
Intan. Aku dan Klara juga takut dengan sahabat kami itu, karena walaupun kami
jahil selalu dihukum tapi aku dan Klara dan bahkan Intan pun tahu bahwa pacaran
itu banyak mudharatnya dan agama benar-benar melarang itu.
Seminggu
setelah kejadian itu, hubungan antara aku, Klara dan Intan memang begitu
renggang. Aku kini hanya bersama Klara, sedangkan Intan kemanapun berdua
bersama Anton, pacarnya.
“Zara,
sepi banget ya kita, gak ada Intan, biasanya kita sama-sama sekarang tinggal berdua.
Aku kangen dia.”
“Iya
sama aku juga” aku menjawab datar lalu kembali melahap nasi goring, makan
kesukaanku itu.
***
Memasuki
bulan ketiga, hubungan Intan dan Anton renggang. Pernah aku melihat, waktu itu
di kelasnya Anton. Anton lagi berdua-duaan dengan perempuan yang aku yakin
sekali bukan Intan. Romantis sekali bahkan sama Intan saja tak pernah
seromantis itu.
***
Pagi
itu semua sibuk dengan PR fisika yang bu Rina berikan minggu lalu, begitu juga
dengan aku, aku dan Klara sibuk mencari contekan. Namun saat aku melihat ke
arah Intan. Intan lusuh banget hari ini. Seperti tak bermaya. Penampilannya
acak-acakkan. Matanya semabab bagaikan terkena sengatan lebah, ketara sekali
meskipun dari jauh.
“Intan,
kamu kenapa?” ucapku melas.
“Intan
kamu sakit ya?” disambung Klara dengan suara cemperengnya.
Intan
langsung menghambur ke pelukanku. Aku kaget sekali. Air matanya tumpah lagi
sampai merembes di seragamku. “Aku putus sama Anton, dia mutusin aku, padahal
aku sayang banget sama dia. Dia nyelingkuhin aku. Terus tiba-tiba dia mutusin
aku, dia bilang udah gak cocok.” Sambil terisak-isak dia menjelaskan. “Aku
nyesel udah terjebak sama pesonanya, aku nyesel. Aku gak mau lagi pacaran,
manisnya bentar dong, sakitnya yang lebih banyak. Dia juga udah
berani-beraninya megang tangan aku, padahal tangan aku cuma buat suami aku dong.
Aku nyesel sekarang aku udah gak suci lagi.”
Aku
dan Klara saling berpandangan, lalu kami tertawa terbahak-bahak. Bagaimana
tidak hanya karena dipegang tangannya jadi gak suci lagi, benar-benar konyol.
“Kok
kalian tertawa, aku sedih ni. Huaaaaaaa.” Tangisnya pecah lagi membuat semua
mata memandang ke arah kami.
“Bukannya
apa ya Ntan, kalau cuma dipegang sih gak bakalan hilang kok sucinya paling cuma
batal wudhu haha, tapi jangan pegang-pegang tangan lagi ya, haram loh, ntar
Allah marah.” Jelasku sambil tertawa-tawa kecil.
***
“Zaraaa,
kok melamun sih”. Aku terhenyak dari lamunanku sambil tersenyum.
“Aku
ingat jaman jahilnya kita dulu, gak nyangka sekarang kamu jadi muslimah sejati
gini”
“Ini
semua kan karena kamu dan Ara juga, kamu juga udah panjangan aja jilbabnya dari
yang dulu, hehe.”
“Oh
ya, ngomong-ngomong Ara gimana ya, aku jadi penasaran ni.”
“Iya
sama aku juga penasaran ni.”
“Kamu
mau ke acara reunion kan? Bareng yuk, soal mobil kamu maaf ya, nanti aku ganti
rugi deh”
“Eh
gak usah gak papa”.
“Alhamdulillah,
untung aja padahal aku lagi kering banget” batinku.
Intan
segera masuk ke mobilnya dan aku menyusulnya di belakang. Sesampainya di sana,
aku juga kaget melihat sahabatku Ara, kini dia juga sudah sama seperti aku dan
Intan. Berdiri dengan mantapnya sambil menuggu kami dengan jilbab lebarnya yang
menjulur sampai ke bawah dada.
“Semoga
persahabatan kita sampai ke syurga ya sahabat-sahabatku” batinku.