Rabu, 04 Januari 2017

Cuma Pengen Nikah


Terpandanglah dua orang insan yang sedang dimabuk asmara dibawah mentari yang hampir kembali keperaduan. Aku menatap sinis terhadap dua insan itu.

Aku pengen nikah ya ALLAH seperti mereka. Aku membatin dalam hati.

Ketika mentari kembali keperaduan sekaligus menghantarkan kepergian dua orang insan manusia yang kabarnya baru menikah dua minggu yang lalu. Tak lupa sang suami menggenggam erat tangan istrinya yang bercadar. Aku melihat sang suami membisikkan sesuatu kemudian berlalu meninggalkan sang istri. Aku lihat sedetail mungkin, ada tawa dibalik cadar hitam sang istri yang sepertinya dibisikkan sesuatu yang lucu oleh sang suami.

Aku pengen nikah ya ALLAH bener-bener pengen. Aku kembali membatin lagi, bahkan aku berteriak dalam batinku.

Setelah puas memperhatikan kedua insan itu, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil air wudhu untuk bertemu Rabb-ku.

“’Afwan ukhti ” Wanita bercadar itu tak sengaja menyenggol lenganku.

“Iya gapapa.” Jawabku singkat.

Adzan pun berkumandang, para peserta tablig akbar dan mabit (malam bina dan takwa) yang jumlahnya berkisar sekitar 150-an untuk yang akhwatnya bergegas mengambil air wudhu.

“Subhanallah, ya ALLAH andai semua wanita di dunia ini semuanya menutup aurat dan pakaian syari’I semuanya seperti ini, adem banget lihatnya kan ra.”

“Iya bener sa.” Aura menjawab sambil memandang kagum dengan pemandangan yang ada di depannya.

“Sa, tadi liatkan pengantin baru yang duduk di tangga tadi, aku liat mereka jadi pengen nikah.” Aku berkata sambil memegang pipi Alisa yang matanya berkeliaran memandang para ikhwan yang sibuk mengatur shaf untuk sholat berjamaah.

“Huss, ya ukhti jaga pandangan, mau solat pun masih maksiat.”

“Aku pun pengen kali ra, tu sama ikhwan yang itu tu. Yang pake baju hitam celananya gak isbal (celana di atas mata kaki). Ganteng, hapal 15 juz lagi. Dan yang paling buat aku salut itu, matanya dijaga banget. Ya ampun liat bawah mulu tu orang.”

“Halimkan?”
“Ah, kamu ini. Udah ayuk ah cepet mau solat juga.” Aku segera merapat ke kanan meluruskan shaf yang kosong di bagian depan.
***
Semenjak pulang dari acara tablig akbar, dan semenjak aku melihat dua insan yang dimabuk cinta di bawah senja sore kala itu. Aku menjadi semakin pengen menikah. Awalnya karena usiaku yang memang usia-usia cocok untuk menikah, kemudian ditambah dengan teman-teman seperjuanganku dulu di bangku sekolah sudah banyak yang menikah dan ditambah lagi teman-teman kuliahku banyak juga yang menikah muda dan berita-berita, gosip-gosip. Di tv, sosial media, lingkungan pergaulanku, bahkan ketika aku mengikuti kajian semuanya berbicara tentang “nikah muda”. Aku semakin mantap rasanya untuk menikah. Aku bahkan sudah menulis proposal pernikahan yang sewaktu-waktu bisa saja aku hantarkan ke murrabiku. Tak hanya itu aku bahkan sudah memikirkan konsep pernikahanku yang didominasi dengan warna pink namun sederhana yang penting syari’i. Aku mem-follow akun-akun yang menawarkan baju pernikahan, pelaminan, bahkan sampai ke persiapan diriku pribadi untuk sang suami. Aku mulai merawat tubuhku. Luluran setiap hari, masker-an tiap malam.

Malam itu, aku terbangun dari tidurku seperti malam-malam biasanya yang kulalui beberapa bulan terakhir ini. Aku meminta kepada-Nya, aku memuja muji-Nya. Kusampaikan segala kerinduanku bersama angin malam. Kusampaikan segala kerinduanku akan sang pendamping pada bulan dan bintang. Kusampaikan kerinduanku pada sang Rabb-ku di sepertiga malam.
Aku sengaja bangun lebih awal, karena seperti biasa. Ku tuliskan segalanya, kutumpahkan segala sesak di dadaku lewat kata-kata.

Merasakan dinginnya angin pagi membuat aku rindu padamu kekasih
Dimana engkau dimana
Menabung rindu sudah terlalu banyak
Menyimpan harapan sudah terlalu lama
Tapi tak jua ku temukan dirimu oh kekasih
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan daun yang tak sempat disampaikan ranting kepada pohon hingga menjadikannya gundul.
Dengan kata yang tak mampu diucapkan mulut hingga menjadikannya kelu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana kekasihku.  

Berlembar-lembar sudah kutuliskan kerinduanku hingga memenuhi blogku. Setelah selesai menuliskan surat cinta itu aku selalu mempostingnya ke blog pribadiku.

Beberapa menit aku memposting itu ada komentar dari seseorang yang sepertinya aku kenal. Orang itu adalah Halim. Aku benar-benar tak menyangka. Laki-laki yang menjadi impian para wanita tiba-tiba berkomentar di blogku.

Mimpi apa aku semalam. Halim komentarin blogku.

“Teruskan berkarya, suka sekali deh sama kata-katanya yang sederhana. Pasti suka banget kan sama sapardi djoko damono. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Karya beliau kan. Salam dari penggemar sapardi djoko damono.”

Aku berniat ingin membalas namun aku bingung harus membalas apa. Akhirnya aku memutuskan untuk membalas singkat.

“Iya, suka makasih ya. Salam.”

Aku sebenarnya ingin sekali menceritakan hal ini kepada Alisa teman sekamarku namun aku tak ingin menyakiti hatinya karena sepertinya Alisa benar-benar tertarik pada Halim. Bahkan hijrahnya pun sebenarnya karena Halim ya walaupun niatnya ikhlas karena ALLAH tetap saja perantaranya Halim. Sebelum hijrahnya, Alisa selalu menceritakan sosok laki-laki yang buat dia kagum, dia selalu menceritakan bahwa laki-laki itu selalu menjaga pandangannya.

 “Pernah kemarin tu lagi di kantin, kantin penuh banget dan aku laper banget. Kebetulan banget ada kursi yang kosong dan di depannya itu si Halim. Aku duduklah di depannya. Eh tiba-tiba pergi gitu aja dia gak jadi makan dan pesanannya di batalin.” Alisa menceritakan dengan gayanya yang agak lebay jika sudah bersamaku tetapi bila bersama teman yang lainnya dia tak menampakkan ke-lebay-annya itu.

“Kamu mau gak sama dia?”

“Ya maulah.”

“Laki-laki yang baik untuk wanita yang baik, makanya hijrah. Tinggalin semua kejahiliyah-jahilayah yang sekarang ada, tinggalin celana jin, baju ketat plus nerawang. Sering ikut kajian. Dan dekatkan diri kepada ALLAH, deketin dulu penciptanya.”
***
“Aura hari ini liqo ba’da ashar. Jangan lupa, aku mau ke rumah teman ngerjain tugas, jadi nanti langsung ke sana. Jadi aku tunggu di sana ya.” Alisa memberitahu kemudian bergegas meninggalkan aku yang baru bangun dari tidur panjangku di hari libur.

Ternyata, murabbiku hari ini membahas tentang persiapan pernikahan. Banyak sekali persiapan-persiapan yang tak pernah terbayangkan olehku. Dan di situ kami juga main jujur-jujuran seputar jodoh. Dari jawaban-jawaban yang dilontarkan temanku sepertinya cuma akulah yang jawabannya seperti anak SMA yang berangan-angan menikah. Dan bahkan Alisa pun sepertinya lebih mantap ketimbang aku dalam hal ini.

Malam itu ditemani dentingan jarum jam aku berfikir keras. Bersama sunyinya malam aku mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan oleh senja. Ditemani rembulan aku menerka-nerka jawaban-jawaban yang bersembunyi dibalik awan-awan yang menghitam di kala malam. Aku berkelana melewati bintang yang satu ke bintang yang lainnya. Rasanya aku tak peduli lagi berapa jaraknya, yang ku inginkan saat ini hanyalah jawaban.

“Apa benar aku sudah sanggup untuk menikah?”

Ditengah-tengah kebimbangan yang menghantuiku setiap malam mengampiri beberapa minggu ini. Tiba-tiba saja murabbiku menanyakan pertanyaan yang sama padaku.

“Kamu udah siap untuk menikah? Ada laki-laki yang menyukaimu. Dia sudah menghantarkan proposalnya pada Umi, ini kamu baca ya. Kamu udah siap Aura?”
***
Pertanyaan dari murabbiku itu selalu menghantuiku, jujur saja beberapa hari ini aku selalu tidak fokus dengan aktivitasku baik di dalam kelas maupun diluar kelas. Aku semakin bertanya-tanya. Aku jadi semakin takut, aku jadi semakin ragu. Yang awalnya 95% keinginanku untuk menikah kini hanya tinggal 5%. Entah kenapa aku menjadi semakin tak percaya diri.

Sebenarnya sanggupkah diri ini? Atau hanya angan-angan anak SMA yang baru pubertas.

Aku sudah istikharah hampir seminggu tapi tak sedikitpun kemantapan itu muncul seperti dulu saat aku fikir menikah itu enak dan gampang. Padahal jujur saja, dari lubuk hatiku yang dalam aku diam-diam juga menaruh perasaan pada Halim sejak pertama kali bertemu di kala senja itu, saat aku tak tau harus pulang dengan siapa sehabis syuro untuk kegiatan memperingati malam tahun baru islam. Akhirnya Halim yang melihatku kebingungan dan teman-teman yang lain semuanya sudah pulang. Dia membantuku dengan meneleponkan adik perempuannya yang kebetulan ada di sekitar tempat kami syuro. Akhirnya aku pulang bersama adiknya dan ia juga mengikuti kami di belakang. Saat adiknya mulai ngebut mengendarai scoopi hitam dominan merah itu, si Halim pun mulai mendekat dan memarahi adiknya supaya jangan ngebut-ngebut. Aku jadi semakin tertarik padanya.


Di kala senja itu, dengan mantap aku mengatakan pada murrabiku. “’afwan ustadzah, saya belum bisa nerima dia untuk saat ini.”

2 komentar: