Minggu, 12 Maret 2017

Tangisan Tanpa Airmata

Malam cukup kental menghitam. Hitam pekat menyelimuti lorong jalanan. Bulan enggan menampakkan diri. Mungkin karena dingin menusuk tulang yang terasa mengigit. Angin yang berhembuspun kian lama kian ribut. Menghantam-hantam pepohonan melayangkan dahan kemanapun semaunya menambah keributan. Para bintang-bintang, sembunyi dibalik awan-awan yang hitam legam. Suara gemericik mulai mendekat dan tanpa aba-aba. “byurrrr” airnya turun tidak terkira. Semua basah. Pepohonan basah. Jalanan basah. Lampu-lampu berkarat yang tak menyala di pinggir jalan pun basah.

“Ais bangun bantu emak, ambil ember di dapur.” Ais yang tengah terlelap beberapa menit yang lalu dikejutkan oleh emaknya. Jalannya terhuyung-huyung, lampu padam, listrik padam. Gelap gulita. Ais berjalan meraba-raba ke dinding.

“Mak kenapa gelap sekali, Ais tidak bisa melihat.” Ais masih meraba-raba menuju dapur berusaha menemukan sesuatu sebagai penerang agar lebih memudahkannya mencari ember yang emaknya maksud untuk menampung air hujan akibat genteng rumah yang bocor.

“Pasang lampu minyak Ais, itu di bawah anglo.” Teriak emaknya dari dalam kamar berusaha menenangkan anak bungsunya yang baru dua bulan.

Hujan semakin deras bagai dituang dari atas langit. Pepohonan semakin cepat meliuk ke sana ke sini diterpa angin ganas yang bertiup semaunya. Guntur perlahan-lahan terdengar. Seberkas cahaya kilat menyambar pohon getah hingga ambruk menghalangi akses jalan ke kota. Keributan semakin menjadi menciutkan nyali para insan yang sudah terjaga dari tidurnya yang lelap. Hanya sekedar memastikan agar gubuk reot milik mereka tak ambruk diterpa badai.

Ais tetap merambat di tepian dinding mencari ember agar rumahnya tak digenangi air. Tak peduli pada petir yang menyambar-nyambar. Ais hanya memikirkan bagaimana cara mendapatkan ember secepat mungkin dan mendapatkan cahaya. Cahaya yang akan menerangi jiwanya yang kelam. Hatinya yang sunyi. Pikirannya yang sepi. Ais tak peduli pada petir yang bisa membunuh orang karena baginya kini ia telah mati. Mati dalam kesendirian. Sunyi, sepi sekali. Harapannya pun sirna disambar petir. Hatinya hancur diobrak-abrik lebatnya hujan. Ais sudah mati sejak lama.

“Aduh” Ais terpeleset.

“Kenapa Ais?”

“Kepeleset mak, sakit mak.” Ais mengadu.

“Alah, sedikit ajalah itu. Cepatlah Ais, adikmu takut ini gelap tak ada cahaya.”

Ais sabar, Ais sudah bosan mengomel di dalam hati karena sikap emaknya terhadap dia. Ais tak bisa lagi merasakan sakitnya mendapat perlakuan tidak adil dari emaknya. Hatinya sudah beku tak bisa lagi merasakan apa-apa.

Merasakan sakit? Sedih? Bahagia? Apa itu bahagia?
Ais tak lagi tau bagaimana rasanya bahagia sejak ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu.
Berbeda dengan kakaknya yang kini sedang kuliah di kota. Selalu dimanja-manja. Selalu dipuji-puji. Apapun yang kakaknya inginkan selalu dituruti. Sedangkan maunya Ais? Jangan harap mendengar saja mungkin tak sudi. Sama seperti keinginan Ais kala itu. Di bawah kaki bukit Ais duduk bersama Ayahnya, setahun yang lalu.

***
Hembusan angin manja membelai-belai rambut Ais yang terurai. Menambah pesona kecantikan, gadis berusia 17 tahun itu. Semburat cahaya oren kemerah-merahan menjelma di balik bukit pelengkap senja sore itu. Menghantar kepergian mentari pulang keperaduan.

“Ais, mari pulang. Kita beres-beres besok kan kamu berangkat pagi-pagi sekali. Nak, ingat pesan ayah ya? Jangan pernah tinggalkan solat.” Ayah beranjak dari rumput berjalan pelan sambil menunggu Anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa, yang besok akan kuliah di kota berjauhan dengan dirinya. Kekhawatiran tercetak jelas di muka Ayahnya. Namun sang pemilik berusaha menutup-nutupi dengan lekukan di bibirnya yang disebut senyuman.

Ais yang membeku, akhirnya beranjak.

Ketika gelap menghampiri Ais termenung sendiri. Ingin segera menutup mata, menghalau segala kembimbangan dan kegundahan hati meninggalkan kampung halaman, meninggalkan keluarga demi meraih cita-cita. Saat mencoba menutup mata, kesedihannya semakin menggerogoti hati. Akhirnya ia bangun dan menikmati malam yang terasa mencekam dan tiada akhirnya itu dengan menumpahkan segala isi hatinya ke dalam sebuah karangan kecil. Akhirnya ia terlelap sendiri sampai fajar menyambut.

“Ayah kemana? Kenapa belum bangun.”

Ais bergegas ingin membangunkan ayahnya karena azan subuh telah berkumandang. Air wudhu yang mengalir kini bercampur baur dengan airmata kesedihan Ais. Ais tak pernah meninggalkan ayahnya. Ayahnya masih terlelap. Wajahnya begitu tenang.

Ayah tersenyum. Pikir Ais.

Ais mendekati Ayahnya.

“Ayah, bangun yah.”

Ayahnya tak bergerak sedikitpun.

“Ayah, sudah subuh Ayah.”

Karena tak sedikitpun melihat reaksi ayahnya, Ais mengguncang tubuh ayahnya.

Nihil. Ayahnya tak juga bergerak.

“Ayah.” Ais sedikit berteriak.

Ais terdiam. Perlahan-lahan airmatanya yang sudah kering merembes lagi turun ke pipi.

Ayah bangun ayah, antarkan Ais ke kota Ayah. Ayah bangun. Ais berteriak dalam keheningan.

“Ayaaaaaaaah” teriak Ais menggema. Airmatanya tak terbendung lagi. Tumpah ke mana-mana. Ais mengguncang tubuh Ayahnya sekuat-kuatnya.

“Ayah, jangan tinggalin Ais, Ayah.” Ais berbisik di telinga ayahnya.
***
“Ais, puisi ini kamu yang buat?” Tanya ayahnya sambil memegang selembaran kertas lusuh di atas meja belajarnya.

“Iya, ayah. Jelek ya ayah?”

“Bagus nak. Teruskan. Kamu sepertinya nurunin bakat Ayah nak. Ayah suka sekali sastra. Ayah ngedapetin ibu kamu aja karena keindahan sastra. Setiap hari ayah selalu bikinin ibumu puisi dan Ayah selalu memberikannya ketika ibumu pulang dari kerja. Awalnya ibumu tak merespon apa-apa tapi kerana ayah setiap hari memberikan puisi-puisi sebagai symbol pernyataan cinta ayah pada ibumu, akhirnya ibumu luluh nak. Bagi ayah, puisi adalah ibumu. Karena tanpa ibu, ayah tak bisa merangkai kata-kata.”

“Waaa, ayah romantis sekali.”

“Nak, kamu tau sastra itu abadi, maka buatlah karya sastra. Kalau gitu buatin puisi untuk ayah, jika ayah telah tiada, maka ayah akan selalu abadi di dalam puisimu.”

“Siap ayah.”

Ais tersadar dari lamunannya. Airmatanya tak dapat lagi menetes. Kering. Beku. Seperti jiwa Ais saat ini. Tak ada lagi harapan hidup. Kebahagiaannya pun telah sirna bersama kepergian ayahnya. Takkan ada lagi yang membela dirinya ketika salah. Tak ada lagi yang memberikan kasih sayang.

Karena kepergian Ayahnya. Ais kini tak dapat melanjutkan lagi kuliahnya. Siapa yang akan membiayai. Ayahnya telah tiada. Sirna sudah semua harapan.

Hari-harinya, kini ia lalui dengan termenung, menulis, termenung, menulis.

“Ayahku tak pernah meninggalkanku karena keindahan ayah selalu terpancar di dalam hatiku. Di dalam puisi-puisi ini.” Ais menangis sesenggukan sambil memeluk erat buku diary pemberian ayahnya.





#minatsastra1
#dulce_et_utile








Tidak ada komentar:

Posting Komentar