Selasa, 01 Agustus 2017

Bukan Siti Nurbaya

“Aku nikah?” keluh gadis berusia 20 tahun yang kini berdiri di depan cermin. Gadis cantik, berkulit putih. Hidungnya yang mancung amat serasi dengan alisnya yang tebal sekaligus rapi. Bibir mungilnya memperindah ciptaan-Nya yang ini. Bener-benar indah. Tinggi semampai, apalagi Siti adalah gadis yang berpakaian Syarii, siapa yang tak menginginkannya. Semua mata pasti tertuju padamya saat ia melintas. Apalagi jika mendengar suaranya, rasanya seperti ingin mencubit-cubit pipinya sampai rasa gemes itu hilang.


“Di usia yang masih segini, sama kakek-kakek pula. Emang jaman Siti Nurbaya. Oke fine, Aisyah nikah sama Nabi yang usianya sudah tua saat Aisyah sendiri masih sangat belia. Tapi inikan udah beda zaman. Oh my god. Cobaan ini benar-benar pengen buat aku lari ke laut antartika sama paus terbesar di dunia deh.” Ia berbicara dengan cermin, memang kebiasaannya. Berbicara dengan cermin atau bahkan berbicara sendiri itu merupakan kebiasaan gadis yang masih kuliah di jurusan B.Inggris itu.


“Lagiankan akukan gak jelek-jelek amat, masak iya pada akhirnya aku sama kakek-kakek, Ya ALLAH tolong hambamu ini.”


***


Siti dan keluarganya termasuk keluarga yang serba pas-pasan. Ayahnya bekerja di kantor swasta dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga dan memiliki dua orang adik yang masih SMA.


Siti yang sekarang sedang kuliah membuat Ayahnya kadang kekurangan. Biaya kuliah bukan murah apalagi biaya hidupnya di Kota. Keadaan ini yang selalu membuat Ayahnya meminjam uang dengan teman akrabnya sewaktu di SMA dulu yang merupakan atasan Ayahnya di kantor.

Ibarat kata “gali lubang tutup lubang” utang ayahnya itu.

“Nud, aku nikan selalu bantu kamu. Bukan mau hitung-hitung ya tapi aku bener-bener mau minta tolong sama kamu. Kali ini kamu harus tolongin aku.” Pujuk atasan Pak Nudi, ayahnya Siti.

“Ya ALLAH, bilang aja mau minta tolong apa? Kalo aku bisa bantu, ya aku bantuin, pasti itu.” Jawab Pak Nudi yang sedang santai bersama atasannya di Caffe depan kantornya.

“Gini, kamu kan punya anak gadis yakan yang kuliah itu, aku suka sama dia. Anaknya baik, sopan pula. Cantik lagi.” Puji atasan Pak Nudi dengan nada centil.

“Kamu jangan yang aneh-aneh ya? Kamu kan udah punya anak sama istri lagian anakku lebih pantes buat anakmu daripada buatmu.” Balas Pak Nudi dengan raut khawatir.

“Haha santai bro, bukan aku. Tapi adiknya Ayah. Udah jadi kakek sih, Ayah aku aja udah kakek-kakek.” Ucapnya seraya meninggalkan Pak Nudi yang semakin cemas dengan permintaan temannya itu.


***


“Pak, kan Siti masih muda, masih 20 tahun. Siti masih pengen kuliah, menikmati indahnya masa muda, masa lajang. Lagian Siti belum bisa jadi istri yang shalihah nantinya. Kan cita-cita Siti mau jadi istri shalihah. Pak pokoknya Siti mau S2 dulu nanti, baru mau nikah. Mau jalan-jalan dulu. Ah, Bapak jangan gitu dong Pak.”


“Kamu tenang aja, dia yang biayain kuliah kamu mau S2, S3 sampe es teller pun, insya ALLAH dia mampu. Ya walaupun udah jadi kakek tapi dia masih gaul, sesuai sukanya kamu. Siti, Bapak gak pernah minta apapun sama kamu kan. Nah, ini Bapak minta tolong. Lagian atasan Bapak itu yang selalu minjemin uang buat kamu, buat kebutuhan kamu.”


“Pak, biar Siti istikharah dulu sekalian tenangin diri dulu Pak.” Ucap ibu mengakhiri percakapan di sore itu.


***


Angin semakin terasa mengingit di kulit, malam telah gelap gulita. Suara jam dinding teras menggema di telinga. Sunyi, senyap, sepi. Pada waktu ini, semua terlelap melepas kepenatan dunia yang membuat terlena. Hanya insan-insan pilihan-Nyalah yang masih terjaga, bercengkerama dengan-Nya. Termasuk Siti, yang sujud lebih lama dari biasanya. Yang duduk bersimpuh sambil menengadah. Tetesan airmata terus mengalir sejak akan memulai shalat.

Tiada yang lebih melegakan, dan menenangkan selain menghadap-Nya, mengadu pada-Nya. Bersujud pada-Nya.

Siti membuka al-Quran dan duduk di pojok kamar sambil terisak-isak. Hatinya sudah lega. Sudah hampir 7 malam ia seperti itu. Bangun pagi dengan mata yang sembab. Jika ditanya kenapa, jawabannya selalu “Abis nonton film sedih bu tadi malam.”


Ibunya sangat mengerti Siti, Siti takkan mau cerita kesedihannya itu karna ia memang anak yang tertutup. Ibunya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun berkali-kali sudah membujuk ayahnya tetap saja ayah selalu kukuh dengan pendiriannya. Ibu masih sangat mengingat tipe suami idaman anak gadisnya itu.


***


“Dek, kakak kalo nikah nanti mau sama Ustadz yang hapal 30 juz. Tapi mau yang seumuran kalo gak, beda paling jauh 7 tahun aja deh.” Ucap Siti di suatu malam sebelum tidur pada adik perempuannya yang sedang berbaring main HP di sebelahnya.

“Emang kakak udah hapal berapa juz coba. Jangankan 1 juz buat jus aja, minta Ibu yang bikinin.” Timpal adiknya yang masih fokus menatap layar HP.

“Kamu itu kek gitu, aamiinin kek ah. Kakak gak butuh laki-laki yang kaya tapi miskin ilmu agama, guru ngaji pun gapapa asal sholih.” Balas Siti lagi.

“Ye kakak. Kan kakak jadi gunjing orang. Mentang-mentang adek bilang, kalo kak Sap, maunya sama cowo yang kaya, kalo dia gak kaya mau diputusin aja. Hayoo kakak.”

“Mana ada kakak bilang gitu dek, kamu tuh yang hobinya ngomongin orang, kan kakak jadi ikut-ikutan. Males ah kalo pulang sini, ngobrol sama kamu pasti ngomongin orang mulu.”

“Ih kakak nih. Liat kakak Bu” Rengek adik pada ibunya.

“Udah-udah tidur, udah malam.” Ibu akhirnya membuka bicara sekaligus mengakhiri.


***


Tibalah hari di mana pertemuan antara Siti dan dan calon suaminya. Siti yang akhirnya menerima permintaan itu kini sudah siap untuk bertemu. Hari itu ia memilih memakai pakaian berwarna cerah ketimbang biasanya yang memakai pakaian berwarna gelap supaya tidak terlalu berlebih-lebihan. Hari ini ia akan belajar menerima calon suaminya dan menjadi istri yang sholihah.


“Assalamualaikum” Atasan ayahnya beserta keluarga calon laki-laki dan tak ketinggalan calon suaminya sudah di ambang pintu.

Detak jantung Siti berdetak lebih kencang dari biasanya.

“Waalaikum salam, silakan masuk” jawab Pak Nudi ayah Siti.

Saat pertama melihat Siti menebak-nebak, kakek yang mana satu yang akan menjadi suaminya dan yang membuat ia terkejut adalah laki-laki muda berusia kurang lebih 25 an yang tak asing baginya ikut serta hadir.

“Kenapa dia di sini, apa dia bakalan jadi cucuku. Oh tidak.” Siti membayangkan saja membuatnya geli, laki-laki yang ia sukai akan menjadi cucunya.

“Siti, ini Arwan. Ini dia kakek-kakek yang bakalan jadi suami kamu, gimana?” Atasan ayahnya membuka bicara sambil tertawa.

Siti dan adik-adiknya terkejut. Dalam sekejap saja adik-adik Siti sudah ikut-ikutan tertawa sedangkan Siti hanya tersipu malu.

“Ternyata datuk maringgih, zaman sekarang ganteng dan masih muda.” Siti membatin dan ingin rasanya sembunyi di balik pohon toge karna malu.

Masya ALLAH, memang ALLAH itu selalu baik pada hambanya. Ternyata calon suaminya yang katanya kakek-kakek adalah laki-laki yang ia kenal di sosial media yang ia kagumi karna ke-sholihannya. Dan ia pernah berharap ingin menikah dengannya. Detak jantung Siti kini berdetak lebih cepat daripada saat pertama kedatangannya beberapa menit yang lalu. Grogi, risih, malu.

Ternyata, ia memang sudah menjadi kakek karna abangnya yang merupakan ayah atasan Pak Nudi, sudah memiliki banyak cucu sedangkan adiknya yang merupakan calon suami Siti adalah anak terakhir. Ia tertarik pada Siti dari awal pertemanannya di sosial media yang dulu sama-sama di zaman jahiliyah dan kini sama-sama sudah berhijrah.

“Tak seperti Siti Nurbaya ternyata. Kalo datuknya ganteng gini aku juga mau” Ucap adik Siti sambil berbisik.

Kakaknya hanya tersenyum malu-malu dan sekali-kali mencuri pandang. Cieeee.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar