Terpandanglah dua orang
insan yang sedang dimabuk asmara dibawah mentari yang hampir kembali
keperaduan. Aku menatap sinis terhadap dua insan itu.
Aku
pengen nikah ya ALLAH seperti mereka. Aku membatin dalam hati.
Ketika mentari kembali
keperaduan sekaligus menghantarkan kepergian dua orang insan manusia yang
kabarnya baru menikah dua minggu yang lalu. Tak lupa sang suami menggenggam
erat tangan istrinya yang bercadar. Aku melihat sang suami membisikkan sesuatu
kemudian berlalu meninggalkan sang istri. Aku lihat sedetail mungkin, ada tawa
dibalik cadar hitam sang istri yang sepertinya dibisikkan sesuatu yang lucu
oleh sang suami.
Aku
pengen nikah ya ALLAH bener-bener pengen. Aku kembali
membatin lagi, bahkan aku berteriak dalam batinku.
Setelah puas memperhatikan
kedua insan itu, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil air wudhu untuk
bertemu Rabb-ku.
“’Afwan ukhti ” Wanita
bercadar itu tak sengaja menyenggol lenganku.
“Iya gapapa.” Jawabku
singkat.
Adzan pun berkumandang,
para peserta tablig akbar dan mabit (malam
bina dan takwa) yang jumlahnya berkisar sekitar 150-an untuk yang
akhwatnya bergegas mengambil air wudhu.
“Subhanallah, ya ALLAH
andai semua wanita di dunia ini semuanya menutup aurat dan pakaian syari’I semuanya
seperti ini, adem banget lihatnya kan ra.”
“Iya bener sa.” Aura
menjawab sambil memandang kagum dengan pemandangan yang ada di depannya.
“Sa, tadi liatkan
pengantin baru yang duduk di tangga tadi, aku liat mereka jadi pengen nikah.”
Aku berkata sambil memegang pipi Alisa yang matanya berkeliaran memandang para
ikhwan yang sibuk mengatur shaf untuk sholat berjamaah.
“Huss, ya ukhti jaga
pandangan, mau solat pun masih maksiat.”
“Aku pun pengen kali ra,
tu sama ikhwan yang itu tu. Yang pake baju hitam celananya gak isbal (celana di atas mata kaki). Ganteng,
hapal 15 juz lagi. Dan yang paling buat aku salut itu, matanya dijaga banget.
Ya ampun liat bawah mulu tu orang.”
“Halimkan?”
“Ah, kamu ini. Udah ayuk
ah cepet mau solat juga.” Aku segera merapat ke kanan meluruskan shaf yang
kosong di bagian depan.
***
Semenjak pulang dari
acara tablig akbar, dan semenjak aku melihat dua insan yang dimabuk cinta di
bawah senja sore kala itu. Aku menjadi semakin pengen menikah. Awalnya karena
usiaku yang memang usia-usia cocok untuk menikah, kemudian ditambah dengan
teman-teman seperjuanganku dulu di bangku sekolah sudah banyak yang menikah dan
ditambah lagi teman-teman kuliahku banyak juga yang menikah muda dan
berita-berita, gosip-gosip. Di tv, sosial media, lingkungan pergaulanku, bahkan
ketika aku mengikuti kajian semuanya berbicara tentang “nikah muda”. Aku
semakin mantap rasanya untuk menikah. Aku bahkan sudah menulis proposal
pernikahan yang sewaktu-waktu bisa saja aku hantarkan ke murrabiku. Tak hanya itu
aku bahkan sudah memikirkan konsep pernikahanku yang didominasi dengan warna
pink namun sederhana yang penting syari’i. Aku mem-follow akun-akun yang
menawarkan baju pernikahan, pelaminan, bahkan sampai ke persiapan diriku
pribadi untuk sang suami. Aku mulai merawat tubuhku. Luluran setiap hari,
masker-an tiap malam.
Malam itu, aku terbangun
dari tidurku seperti malam-malam biasanya yang kulalui beberapa bulan terakhir
ini. Aku meminta kepada-Nya, aku memuja muji-Nya. Kusampaikan segala
kerinduanku bersama angin malam. Kusampaikan segala kerinduanku akan sang
pendamping pada bulan dan bintang. Kusampaikan kerinduanku pada sang Rabb-ku di
sepertiga malam.
Aku sengaja bangun lebih
awal, karena seperti biasa. Ku tuliskan segalanya, kutumpahkan segala sesak di dadaku
lewat kata-kata.
Merasakan
dinginnya angin pagi membuat aku rindu padamu kekasih
Dimana
engkau dimana
Menabung
rindu sudah terlalu banyak
Menyimpan
harapan sudah terlalu lama
Tapi
tak jua ku temukan dirimu oh kekasih
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan
daun yang tak sempat disampaikan ranting kepada pohon hingga menjadikannya
gundul.
Dengan
kata yang tak mampu diucapkan mulut hingga menjadikannya kelu.
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana kekasihku.
Berlembar-lembar sudah
kutuliskan kerinduanku hingga memenuhi blogku. Setelah selesai menuliskan surat
cinta itu aku selalu mempostingnya ke blog pribadiku.
Beberapa menit aku
memposting itu ada komentar dari seseorang yang sepertinya aku kenal. Orang itu
adalah Halim. Aku benar-benar tak menyangka. Laki-laki yang menjadi impian para
wanita tiba-tiba berkomentar di blogku.
Mimpi
apa aku semalam. Halim komentarin blogku.
“Teruskan berkarya, suka
sekali deh sama kata-katanya yang sederhana. Pasti suka banget kan sama sapardi
djoko damono. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Karya beliau kan. Salam
dari penggemar sapardi djoko damono.”
Aku berniat ingin
membalas namun aku bingung harus membalas apa. Akhirnya aku memutuskan untuk
membalas singkat.
“Iya, suka makasih ya.
Salam.”
Aku sebenarnya ingin
sekali menceritakan hal ini kepada Alisa teman sekamarku namun aku tak ingin
menyakiti hatinya karena sepertinya Alisa benar-benar tertarik pada Halim. Bahkan
hijrahnya pun sebenarnya karena Halim ya walaupun niatnya ikhlas karena ALLAH
tetap saja perantaranya Halim. Sebelum hijrahnya, Alisa selalu menceritakan
sosok laki-laki yang buat dia kagum, dia selalu menceritakan bahwa laki-laki
itu selalu menjaga pandangannya.
“Pernah kemarin tu lagi di kantin, kantin
penuh banget dan aku laper banget. Kebetulan banget ada kursi yang kosong dan
di depannya itu si Halim. Aku duduklah di depannya. Eh tiba-tiba pergi gitu aja
dia gak jadi makan dan pesanannya di batalin.” Alisa menceritakan dengan
gayanya yang agak lebay jika sudah bersamaku tetapi bila bersama teman yang
lainnya dia tak menampakkan ke-lebay-annya itu.
“Kamu mau gak sama dia?”
“Ya maulah.”
“Laki-laki yang baik
untuk wanita yang baik, makanya hijrah. Tinggalin semua kejahiliyah-jahilayah
yang sekarang ada, tinggalin celana jin, baju ketat plus nerawang. Sering ikut
kajian. Dan dekatkan diri kepada ALLAH, deketin dulu penciptanya.”
***
“Aura hari ini liqo ba’da
ashar. Jangan lupa, aku mau ke rumah teman ngerjain tugas, jadi nanti langsung
ke sana. Jadi aku tunggu di sana ya.” Alisa memberitahu kemudian bergegas
meninggalkan aku yang baru bangun dari tidur panjangku di hari libur.
Ternyata, murabbiku hari
ini membahas tentang persiapan pernikahan. Banyak sekali persiapan-persiapan
yang tak pernah terbayangkan olehku. Dan di situ kami juga main jujur-jujuran
seputar jodoh. Dari jawaban-jawaban yang dilontarkan temanku sepertinya cuma
akulah yang jawabannya seperti anak SMA yang berangan-angan menikah. Dan bahkan
Alisa pun sepertinya lebih mantap ketimbang aku dalam hal ini.
Malam itu ditemani
dentingan jarum jam aku berfikir keras. Bersama sunyinya malam aku mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan oleh senja. Ditemani
rembulan aku menerka-nerka jawaban-jawaban yang bersembunyi dibalik awan-awan
yang menghitam di kala malam. Aku berkelana melewati bintang yang satu ke
bintang yang lainnya. Rasanya aku tak peduli lagi berapa jaraknya, yang ku
inginkan saat ini hanyalah jawaban.
“Apa benar aku sudah
sanggup untuk menikah?”
Ditengah-tengah
kebimbangan yang menghantuiku setiap malam mengampiri beberapa minggu ini.
Tiba-tiba saja murabbiku menanyakan pertanyaan yang sama padaku.
“Kamu udah siap untuk
menikah? Ada laki-laki yang menyukaimu. Dia sudah menghantarkan proposalnya
pada Umi, ini kamu baca ya. Kamu udah siap Aura?”
***
Pertanyaan dari murabbiku
itu selalu menghantuiku, jujur saja beberapa hari ini aku selalu tidak fokus
dengan aktivitasku baik di dalam kelas maupun diluar kelas. Aku semakin bertanya-tanya.
Aku jadi semakin takut, aku jadi semakin ragu. Yang awalnya 95% keinginanku
untuk menikah kini hanya tinggal 5%. Entah kenapa aku menjadi semakin tak
percaya diri.
Sebenarnya
sanggupkah diri ini? Atau hanya angan-angan anak SMA yang baru pubertas.
Aku sudah istikharah
hampir seminggu tapi tak sedikitpun kemantapan itu muncul seperti dulu saat aku
fikir menikah itu enak dan gampang. Padahal jujur saja, dari lubuk hatiku yang
dalam aku diam-diam juga menaruh perasaan pada Halim sejak pertama kali bertemu
di kala senja itu, saat aku tak tau harus pulang dengan siapa sehabis syuro
untuk kegiatan memperingati malam tahun baru islam. Akhirnya Halim yang
melihatku kebingungan dan teman-teman yang lain semuanya sudah pulang. Dia
membantuku dengan meneleponkan adik perempuannya yang kebetulan ada di sekitar
tempat kami syuro. Akhirnya aku pulang bersama adiknya dan ia juga mengikuti
kami di belakang. Saat adiknya mulai ngebut mengendarai scoopi hitam dominan
merah itu, si Halim pun mulai mendekat dan memarahi adiknya supaya jangan
ngebut-ngebut. Aku jadi semakin tertarik padanya.
Di kala senja itu, dengan
mantap aku mengatakan pada murrabiku. “’afwan ustadzah, saya belum bisa nerima
dia untuk saat ini.”