Malam cukup kental menghitam.
Hitam pekat menyelimuti lorong jalanan. Bulan enggan menampakkan diri. Mungkin
karena dingin menusuk tulang yang terasa mengigit. Angin yang berhembuspun kian
lama kian ribut. Menghantam-hantam pepohonan melayangkan dahan kemanapun
semaunya menambah keributan. Para bintang-bintang, sembunyi dibalik awan-awan
yang hitam legam. Suara gemericik mulai mendekat dan tanpa aba-aba. “byurrrr”
airnya turun tidak terkira. Semua basah. Pepohonan basah. Jalanan basah.
Lampu-lampu berkarat yang tak menyala di pinggir jalan pun basah.
“Ais bangun bantu emak, ambil
ember di dapur.” Ais yang tengah terlelap beberapa menit yang lalu dikejutkan
oleh emaknya. Jalannya terhuyung-huyung, lampu padam, listrik padam. Gelap
gulita. Ais berjalan meraba-raba ke dinding.
“Mak kenapa gelap sekali, Ais
tidak bisa melihat.” Ais masih meraba-raba menuju dapur berusaha menemukan
sesuatu sebagai penerang agar lebih memudahkannya mencari ember yang emaknya
maksud untuk menampung air hujan akibat genteng rumah yang bocor.
“Pasang lampu minyak Ais, itu di
bawah anglo.” Teriak emaknya dari dalam kamar berusaha menenangkan anak
bungsunya yang baru dua bulan.
Hujan semakin deras bagai dituang
dari atas langit. Pepohonan semakin cepat meliuk ke sana ke sini diterpa angin
ganas yang bertiup semaunya. Guntur perlahan-lahan terdengar. Seberkas cahaya
kilat menyambar pohon getah hingga ambruk menghalangi akses jalan ke kota.
Keributan semakin menjadi menciutkan nyali para insan yang sudah terjaga dari
tidurnya yang lelap. Hanya sekedar memastikan agar gubuk reot milik mereka tak
ambruk diterpa badai.
Ais tetap merambat di tepian
dinding mencari ember agar rumahnya tak digenangi air. Tak peduli pada petir
yang menyambar-nyambar. Ais hanya memikirkan bagaimana cara mendapatkan ember
secepat mungkin dan mendapatkan cahaya. Cahaya yang akan menerangi jiwanya yang
kelam. Hatinya yang sunyi. Pikirannya yang sepi. Ais tak peduli pada petir yang
bisa membunuh orang karena baginya kini ia telah mati. Mati dalam kesendirian.
Sunyi, sepi sekali. Harapannya pun sirna disambar petir. Hatinya hancur
diobrak-abrik lebatnya hujan. Ais sudah mati sejak lama.
“Aduh” Ais terpeleset.
“Kenapa Ais?”
“Kepeleset mak, sakit mak.” Ais
mengadu.
“Alah, sedikit ajalah itu.
Cepatlah Ais, adikmu takut ini gelap tak ada cahaya.”
Ais sabar, Ais sudah bosan
mengomel di dalam hati karena sikap emaknya terhadap dia. Ais tak bisa lagi
merasakan sakitnya mendapat perlakuan tidak adil dari emaknya. Hatinya sudah
beku tak bisa lagi merasakan apa-apa.
Merasakan sakit? Sedih? Bahagia?
Apa itu bahagia?
Ais tak lagi tau bagaimana
rasanya bahagia sejak ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu.
Berbeda dengan kakaknya yang kini
sedang kuliah di kota. Selalu dimanja-manja. Selalu dipuji-puji. Apapun yang
kakaknya inginkan selalu dituruti. Sedangkan maunya Ais? Jangan harap mendengar
saja mungkin tak sudi. Sama seperti keinginan Ais kala itu. Di bawah kaki bukit
Ais duduk bersama Ayahnya, setahun yang lalu.
***
Hembusan angin manja membelai-belai
rambut Ais yang terurai. Menambah pesona kecantikan, gadis berusia 17 tahun
itu. Semburat cahaya oren kemerah-merahan menjelma di balik bukit pelengkap
senja sore itu. Menghantar kepergian mentari pulang keperaduan.
“Ais, mari pulang. Kita beres-beres
besok kan kamu berangkat pagi-pagi sekali. Nak, ingat pesan ayah ya? Jangan
pernah tinggalkan solat.” Ayah beranjak dari rumput berjalan pelan sambil
menunggu Anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa, yang besok akan kuliah di
kota berjauhan dengan dirinya. Kekhawatiran tercetak jelas di muka Ayahnya.
Namun sang pemilik berusaha menutup-nutupi dengan lekukan di bibirnya yang
disebut senyuman.
Ais yang membeku, akhirnya
beranjak.
Ketika gelap menghampiri Ais
termenung sendiri. Ingin segera menutup mata, menghalau segala kembimbangan dan
kegundahan hati meninggalkan kampung halaman, meninggalkan keluarga demi meraih
cita-cita. Saat mencoba menutup mata, kesedihannya semakin menggerogoti hati.
Akhirnya ia bangun dan menikmati malam yang terasa mencekam dan tiada akhirnya
itu dengan menumpahkan segala isi hatinya ke dalam sebuah karangan kecil.
Akhirnya ia terlelap sendiri sampai fajar menyambut.
“Ayah kemana? Kenapa belum
bangun.”
Ais bergegas ingin membangunkan
ayahnya karena azan subuh telah berkumandang. Air wudhu yang mengalir kini
bercampur baur dengan airmata kesedihan Ais. Ais tak pernah meninggalkan
ayahnya. Ayahnya masih terlelap. Wajahnya begitu tenang.
Ayah tersenyum. Pikir Ais.
Ais mendekati Ayahnya.
“Ayah, bangun yah.”
Ayahnya tak bergerak sedikitpun.
“Ayah, sudah subuh Ayah.”
Karena tak sedikitpun melihat
reaksi ayahnya, Ais mengguncang tubuh ayahnya.
Nihil. Ayahnya tak juga bergerak.
“Ayah.” Ais sedikit berteriak.
Ais terdiam. Perlahan-lahan
airmatanya yang sudah kering merembes lagi turun ke pipi.
Ayah bangun ayah, antarkan Ais ke kota Ayah. Ayah bangun. Ais
berteriak dalam keheningan.
“Ayaaaaaaaah” teriak Ais
menggema. Airmatanya tak terbendung lagi. Tumpah ke mana-mana. Ais mengguncang
tubuh Ayahnya sekuat-kuatnya.
“Ayah, jangan tinggalin Ais,
Ayah.” Ais berbisik di telinga ayahnya.
***
“Ais, puisi ini kamu yang buat?”
Tanya ayahnya sambil memegang selembaran kertas lusuh di atas meja belajarnya.
“Iya, ayah. Jelek ya ayah?”
“Bagus nak. Teruskan. Kamu
sepertinya nurunin bakat Ayah nak. Ayah suka sekali sastra. Ayah ngedapetin ibu
kamu aja karena keindahan sastra. Setiap hari ayah selalu bikinin ibumu puisi
dan Ayah selalu memberikannya ketika ibumu pulang dari kerja. Awalnya ibumu tak
merespon apa-apa tapi kerana ayah setiap hari memberikan puisi-puisi sebagai
symbol pernyataan cinta ayah pada ibumu, akhirnya ibumu luluh nak. Bagi ayah,
puisi adalah ibumu. Karena tanpa ibu, ayah tak bisa merangkai kata-kata.”
“Waaa, ayah romantis sekali.”
“Nak, kamu tau sastra itu abadi,
maka buatlah karya sastra. Kalau gitu buatin puisi untuk ayah, jika ayah telah
tiada, maka ayah akan selalu abadi di dalam puisimu.”
“Siap ayah.”
Ais tersadar dari lamunannya. Airmatanya
tak dapat lagi menetes. Kering. Beku. Seperti jiwa Ais saat ini. Tak ada lagi
harapan hidup. Kebahagiaannya pun telah sirna bersama kepergian ayahnya. Takkan
ada lagi yang membela dirinya ketika salah. Tak ada lagi yang memberikan kasih
sayang.
Karena kepergian Ayahnya. Ais
kini tak dapat melanjutkan lagi kuliahnya. Siapa yang akan membiayai. Ayahnya
telah tiada. Sirna sudah semua harapan.
Hari-harinya, kini ia lalui
dengan termenung, menulis, termenung, menulis.
“Ayahku tak pernah meninggalkanku
karena keindahan ayah selalu terpancar di dalam hatiku. Di dalam puisi-puisi
ini.” Ais menangis sesenggukan sambil memeluk erat buku diary pemberian
ayahnya.
#minatsastra1
#dulce_et_utile