Rabu, 25 Mei 2016

Cerpen : Mungkin Aku Melepaskanmu


Aku masih berdiri kaku di pintu masjid khusus ikhwan, sembari mataku yang tak lepas menatap laki-laki yang baru saja menyapaku untuk pertama kalinya setelah empat tahun berada di universitas yang sama meski beda fakultas, jurusan apalagi. Aku di jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia sedangkan kau adalah mahasiswa akuntansi. Bahkan kita selalu bersama saat menunggu bus yang jalannya entah kapan waktunya yang ditetapkan. Pulang pergi di satu atap bus selama empat tahun belakangan ini. Namun untuk sekedar menyapa pun kita tak pernah mampu. Kita bagaikan dua sisi uang logam, bersama namun tak pernah bisa saling melihat, menatap bahkan saling menyentuh pun kita tak akan pernah mampu karena kita berada di alur yang berbeda, alur yang memang kau ciptakan sendiri untuk kau jalankan sebaik-baiknya begitupun dengan aku. Alur yang sebenarnya tak pernah ku ciptakan, namun tetap harus ku jalani dengan penuh keikhlasan. Jika kalian berfikir aku kuat, tentu salah besar. Karena disana, di saat keheningan malam menyapa, aku menangis tanpa suara, meraung di dalam kebisuan. Bahkan aku berontak di dalam kediaman. Aku berusaha berontak dengan kekakuan yang selalu kau ciptakan. Dan aku dengan ego ku juga tak kalah hebatnya tengelam bersama keheningan di setiap perjumpaan meski itu terjadi bertahun-tahun.
Kau mulai mengangkat tangan, tanda memulai solat dhuha mu kali ini, dhuha yang hampir selalu kita lakukan bersama di dalam masjid tercinta universitas kita, masjid Al-Ikhlas. Tanpa direncanakan, kebetulan namanya. Begitulah kebanyakan orang menyebutnya, padahal aku dan mereka percaya bahwa semua yang terjadi adalah takdir-Nya, tiada yang kebetulan di dunia ini. Yang kadang-kadang seperti kebiasaanku untuk “pacaran” begitulah aku menyebutnya pada teman-temanku jika ditanyakan mau kemana yang sebenarnya adalah mengunjungi-Nya dan dia di masjid. Tempat di mana aku selalu mengadu tentang perasaan ku pada Rabbku. Kau pun juga begitu rasanya. Namun lagi-lagi pertanyaan ku muncul, pertanyaan yang tak kau jawab di percakapan singkat kita beberapa menit yang lalu. Kenapa harus kau pendam selama ini. Apa kau fikir aku adalah perempuan yang sanggup berlama-lama dengan dugaan-dugaan yang ku buat sendiri, yang kebenarannya pun tak pernah terjawab oleh siapapun. Seakan Dia pun bungkam atas perasaan ini. Yang di setiap pertigaan malam selalu ku singgung walau hanya segelintir, atau mungkin jawaban-Nya ada, namun aku yang kurang peka akan semua itu.
“Nur” suara yang selama ini selalu ku harapkan terlontar dari mulutmu, setiap aku selesai mengambil wudhu. Aku tau kau hafal wajahku, tahu namaku, tahu kapan aku ulang tahun, tau siapa saja teman dekatku, tahu kapan aku bangun di waktu pagi hari dan kurasa lebih banyak lagi yang kau ketahui dibandingkan dengan yang aku ketahui tentangmu. Namun aku tak mengerti tentang kebungkamanmu. Mungkin, mungkin dan mungkin apalagi yang harus ku katakan pada diriku sendiri. Apakah lelaki selalu begitu. Harus mementingkan ego ketimbang yang lainnya, atau mungkin alasan lainnya yang menguatkanmu dan kemudian harus memperlakukan ku selalu sama di setiap perjumpaan kita. Aku kira kau tak buta. Tapi mungkin saja kau buta hati hingga menelantarkan rasaku begitu saja. Tega? Apakah pantas, kata itu aku lontarkan untuk laki-laki sesoleh kau. Kesolehan yang selalu membuat aku berkali-kali tertawan, kesolehan yang berkali-kali membuat aku kagum bahkan sampai memuji-Nya tak henti-henti karena aku selalu dipertemukan denganmu yang membuatku semakin bersemangat untuk lebih dekat dengan-Nya aku selalu meyakini pepatah yang dibuat oleh entah siapa, “Dekati dulu Penciptanya kalau mau dapetin ciptaan-Nya”. Aku bahkan selalu melontarkan kata-kata itu disetiap ada teman yang curhat kepadaku tentang ikhwan yang ditaksirnya.
“Afwan ukhti, kalo mau dapetin ciptaan-Nya deketin Penciptanya dulu ya.” Selalu itu, tiada kurang tiada lebih. Hanya itulah senjata ampuhku untuk merespon setiap curhatan-curhatan sahabat sahabat tercintaku. Yang sebenarnya aku pun tak tau harus menjawab apa. Namun kata-kata itulah yang selalu mampu membungkamkan mulut-mulut sahabatku serta menghentikan sejenak tangisannya yang pecah saat malam menghampiri. Atau apakah aku setega itu mengatakan bahwa kau itu tega terhadapku? sementara kita selalu diam. Kau bagaikan tak mengenalku yang jelas-jelas hafal setiap jadwal kuliahku di setiap semesternya bahkan aku juga hapal rutinitas-rutinitas apa saja yang kau lakukan selain kuliah. Apakah itu yang dikatakan tidak saling mengenal? Kemungkin- kemungkinan apa lagi yang harus kujawab atas pertanyaan ini. Aku tak sanggup lagi untuk merangkai kalimat setelah kata “mungkin” kali ini atas pertanyaanku itu.
M. Firdaus, lahir di Batam, 13 Agustus 1997. Mahasiswa fakultas ekonomi jurusan akuntansi. Berasal di Batam. Kediaman orangtua di Batam. Anak tertua, mempunyai 2 orang adik perempuan kembar yang masih SMA. Setiap pukul 08.00 selalu ada di masjid Al-Ikhlas pada hari kuliah. Itulah info-info yang kudapat selama empat tahun mengagumimu. Hanya sebatas itu, karena diam emasmu itu berbeda dengan aku yang tiap hari saat didalam bus nyerocos seperti burung beo, menceritakan segala yang aku alami setiap harinya, padahal aku termasuk tipikal yang pendiam, tapi saat bersama sahabat, aku memang tipikal yang susah berhenti ngobrol karena sahabat-sahabatku termasuk orang yang supel. Selalu saja ada bahasan yang menarik perhatianku sehingga diamku itu hanyut begitu saja saat bersama mereka.
Aku selalu mengagumimu karena kau adalah remaja masjid. Tak jarang ku lihat, sedang mengepel, menyapu atau bahkan menyusun mukena yang berantakan. Ngaji berjam-jam di masjid jika sedang tidak ada mata kuliah, atau sekedar mendengar ceramah di youtube melalui gadget yang kau punya. Sementara aku? Tukang mengotori lantai bila musim hujan, dengan meletakkan sepatuku di batas suci dan kemudian setelah aku pergi kau bersihkan bekas-bekas sepatuku yang tertinggal dilantai, darimana aku bisa tau ini? Pernah suatu ketika kacamataku tertinggal, saat aku kembali lagi, aku melihat pemandangan yang membuatku malu sendiri. Kau membersihkan bekas sepatuku yang tercetak jelas di lantai batas suci. Waktu itu aku hanya bisa menunduk sepertinya kaupun juga begitu selalu begitu disetiap perjumpaan kita. Atau sekedar merapikan mukena yang sudah kuhambur hamburkan demi mencari mukena kesukaanku yang tak pernah menyatu dengan roknya. Dan yang sangat ku kagumi adalah hari dimana kau tak ada mata kuliah pun kau hadir, yang terkadang aku berfikir mungkin saja, kau hanya ingin melihatku. Menatap dari kejauhan. Atau sekedar melewatiku saat rebutan bus. Aku bahkan hapal, yang ku yakini adalah masa-masa awal hijrahmu begitu juga aku. Kau menatapku tajam. Saat aku melihatmu kau segera beralih kemana saja yang pasti bukan ke arahku lagi. Tatapan tajam yang sampai saat ini pun masih terekam jelas di ingatanku.
“Ana rasa, Nur tau siapa ana.” Aku segera membalikkan tubuhku. Aku lihat kau menjaga pandanganmu. Aku juga segera melihat ke sekitar. Tak ingin berlama-lama melhatmu. Karena aku rapuh dengan kebungkamanmu selama beberapa tahun ini. Dan rapuh karena sapaanmu yang tak tepat ini. Kenapa baru sekarang? Kenapa tak seminggu yang lalu saja?
“Ana…” aku masih menunggu kau melanjutkan kata-katamu. Namun sejenak aku mulai resah, aku melihatmu lagi, kau juga melihatku, seketika mata kita saling menatap. Lima detik lamanya, kau beralih dan terdengar ucapan istigfar dari mulutmu meski samar-samar karena jarak kita yang tak terlalu jauh.
“Apakah Nur, sudah dikhitbah? Jika belum ana bermaksud ingin mengitbah Nur. Ana suka Nur sejak awal mula bertemu Nur.” Aku masih menyimak dengan penuh penasaran.
Aku lihat kau menarik nafas tanda akan memulai cerita yang telah kau persiapkan jauh-jauh hari “Ana, tau cerita hijrah Nur. Jujur Nur, ana juga dulu belum hijrah, karena jatuh cinta dengan Nur membuat ana menuju jalan hijrah ana. Ana tau dulu Nur pake celana jeans, pake pashmina, pake baju lengan nanggung, pakaian nerawang, jilbab nerawang dan jahiliyah-jahiliyah Nur lainnya. Semuanya ana masih ingat. Awalnya ana mau deketin Nur, tapi ana kaget waktu itu. Waktu itu hari pertama kita masuk kuliah aktif. Ana melihat Nur berubah drastis, baju yang ketat kini berganti dengan baju yang benar-benar lebar di mata ana, jilbab yang nerawang jadi tebal sekali bahkan ana melihat Nur menggunakan dalaman jilbab dan yang lebih membuat ana kaget, jilbab Nur panjang sekali terjulur menutupi dada. Dan ana melihat Nur menggunakan kaos kaki padahal ana yakin sekali sebelum ini Nur gak pernah pake kaos kaki meskipun Nur mengunakan sepatu kets. Ana ingin menikahimu Nur.”
Aku hanya termangu mendengar ceritamu tanpa berkomentar sedikit pun, aku masih tak percaya cinta kita memang nyata. Yang dulunya aku fikir hanya aku saja yang merasakannya mungkin saja kau tak merasakan apa yang aku rasakan. Meskipun tak jarang aku memergokimu menatap tajamku. Atau menghidupkan kipas angin dibagian akhwat sewaktu hanya ada aku dan kau di dalam masjid yang ku fikir adalah bentuk perhatian kecilmu untukku atau mungkin saja setiap ada akhwat yang masuk kau memang sengaja menghidupkannya agar tidak kepanasan. Atau yang awalnya kau sedang diluar masjid bersama temanmu setelah melihat kehadiranku, kau ikut masuk dan kita melaksanakan dhuha bersama yang sempat aku berfikir bahwa kau ingin menjadi imamku. Mungkin saja itu semua adalah kode darimu tapi apalah dayaku yang hanya bisa menebak menebak dan menebak. Kau benar-benar menjadikanku seorang manusia yang hanya bisa berandai-andai, menebak-nebak, dan akhirnya kecewa sendiri.
Kita masih saling diam setelah ceritamu yang panjang lebar tadi seolah membuatku ingin berteriak padamu, memaki-maki dirimu karena keterlambatanmu mengatakan semua ini. Aku melihat kau mulai ingin membuka bicara lagi. “Nur” kau menatapku dengan ragu-ragu, aku hanya menunduk sambil menahan tangisku. Namun aku tak kuasa. Airmata itu kini jatuh juga. Kau mulai panik.
“Nur, kenapa?”
Aku masih terisak-isak tak memperdulikan kata-katamu lagi. Setelah beberapa menit, aku mulai membuka bicara karena kau tak juga membuka suara. “Kenapa baru sekarang kamu katakan ini, saya sudah dikhitbah.” Tangisku kini makin deras. Mengalir begitu saja bagaikan air mancur tanpa peduli securam apa jurang itu, mereka tetap mengalir bahkan dengan begitu cepatnya.
“Saya sudah menunggu kamu selama empat tahun, menuruti setiap kebungkamanmu. Menebak-nebak atas perasaanmu padaku.” Aku berucap pelan namun terdengar jelas nada ketusku.
“Maafkan ana sudah membuat Nur menunggu, ana masuk dulu Nur, mau dhuha dulu. Nur juga masuk ya bentar lagi Nur masuk kuliah kan?” Kau berucap dengan tenangnya. Entahlah apa yang kini tengah kau rasakan. Mungkin saja kau sedang menutupi rasa sakitmu dengan melarikan diri dari hadapanku.
“Assalamu mu’alaikum warahmatullahi wabarakatu” kau menutup pembicaraan yang benar-benar tak membuat aku puas atas pengakuanmu, penjelasan yang akan membuat aku menebak-nebak lagi, mungkin saja.
“Wa’alaikum salam warrahmatullahi wabarakauh.” Aku menjawab sambil terisak-isak.
Aku masih berdiri menghantar kepergianmu di waktu dhuha ini, pergi untuk selamanya dari hatiku. Kau benar-benar membuatku kecewa, bahkan kau saja tak menjawab pertanyaanku. Apakah kau masih ingin menjadikanku seorang perempuan dengan kata mungkin dan mungkin. Atau karena memang sudah tak penting lagi semua ini kau utarakan karena memang sia-sia saja. Aku segera beranjak. Air mataku masih saja terus mengalir. Aku sudah tak peduli dengan air mata dan mataku yang bengkak akibat tangisku ini. Aku hanya ingin mengadu pada-Nya saat ini atas semua serpihan-serpihan kisah kita. Kisah tragis yang berakhir menyedihkan.
Setelah selesai aku melihatnya masih saja mengadahkan tangan dengan kepala yang tertunduk, entah apa yang sedang kau adukan pada-Nya aku pun kini enggan menebaknya lagi. Aku benar-benar sudah lelah menebak-nebak semua tentangmu.
Aku melepaskanmu dari hatiku diwaktu dhuha ini, waktu yang selalu menjadi saksi bisu atas cinta yang bisu pula. Cinta yang ku pupuk sendiri, cinta yang ku pendam sendiri, cinta yang tumbuh sendiri.





Minggu, 08 Mei 2016

Artikel Profil












Liya gadis bersuara indah kelahiran 2 mei 1995 ini mempunyai bakat yang luar biasa di bidang tilawah Quran, tak jarang banyak prestasi yang diraihnya saat pertandingan-pertandingan tilawah Quran di acara Musabaqah Tilawatil Quran atau sering disebut dengan MTQ. Gadis cerdas ini kuliah di Universitas Maritim Raja Ali Haji mengambil jurusan Ilmu Kelautan. IPS-IPS yang diraihnya pun cukup memuaskan.
Anak pertama dari 3 bersaudara ini amat mandiri dan aktif, banyak sekali kegiatan-kegiatan yang dilakukannya untuk kebaikan bersama. Tak seperti anak remaja lainnya, ia menghabiskan masa mudanya dengan berkarir dan berdakwah.
Pernah suatu ketika ia rela berjualan pizza ala buatannya sendiri dan uangnya untuk suatu acara keagamaan yang dibuatnya bersama teman-temannya. Membutuhkan waktu yang cukup lama memang, tapi karena kesabarannya ia rela berjualan dan menghantar pizza- pizza pesanan dari para pembeli.
Karena ingin hidup mandiri dan tak ingin lagi bergantung kepada orang tuanya, kini  ia mengajar sebagai guru tahfiz di PAI untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Dari pagi sampai sore bahkan terkadang sampai malam jadwalnya selalu padat dengan rutinitas-rutinitasnya. Sebagai mahasiswa yang cerdas tentu saja ia sangat menginginkan melanjutkan kuliah di luar negeri, saat ini dia sedang berusaha demi mendapatkan beasiswa keluar negeri. Karena dia anak pertama jadi ia memiliki pemikiran bahwa ia harus bisa membahagiakan kedua orang tuanya dan kemudian membantu adik-adiknya melanjutkan sekolah dan tentunya dia ingin menjadi orang yang berguna dan sukses.



Cerpen : Rindu yang Menyelinap Dalam Kalbu



Siang itu, ia terlihat berbeda dari biasanya. Lebih cerah, dari matanya terpancar aura yang siapa saja melihatnya pasti akan menyangka bahwa ia sedang bahagia. Aura yang sekitar setahun kebelakang ini tak satupun orang bisa menemukannya di sebalik mata sayunya itu, bahkan lingkaran hitam di bawah matanya kini telah berkurang walaupun masih terlihat. Dulu, mata yang selalu menandakan bahwa empunya lelah. Mata yang menyimpan seribu duka di dalamnya, namun tiada satupun yang dapat menyelami dalamnya duka yang ia derita.
Dengan baju muslim bercorak bunga-bunga, dipadu dengan jilbab berwarna senada. Ia semakin terlihat indah dengan pancaran senyumnya, seakan membawa siapa saja yang melihatnya masuk ke dalam zona bahagia yang tengah ia rasakan. Dengan membawa surat yasin ia menelusuri tempat ayahnya di makamkan sekitar 5 bulan yang lalu. Setelah sampai di makam ayahnya, ia membersihkan rerumputan di sekitar makam ayahnya, rumput liar yang tumbuh merata mengelilingi makam yang masih dalam masa pertumbuhan. Kemudian terdengar samar-samar lantunan surah yasin dari bibir mungilnya yang diolesnya dengan warna lipstick sesuai dengan warna kulitnya, pink. Kemudian tetes demi tetes air mata itu mulai membasahi pipinya. Pilu itu kembali hadir bersama awan mendung yang diiringi suara burung-burung kecil yang berhinggap di sebalik pohon akasia tua yang berada tepat di depan makam ayahnya, ia tak dapat lagi membendung rasa sakit itu bila teringat ayahnya, ayahnya yang selalu dirinduinya.
“Aku masih di sini abah, masih berdiri tegak di sini. Dengan semangat yang masih menggebu-nggebu. Aku putrimu yang kuat. Abah aku merindukanmu, ibu aku juga merindukanmu. Aku masih sama seperti yang dulu, putrimu yang manja. Aku janji aku akan sukses dan aku janji aku gak akan sombong bah seperti yang selalu abah katakan. Ibu, abah semoga nanti kita dipersatukan lagi di Syurga-Nya. Aamiin.” Air matanya semakin deras membasahi jilbab yang terjulur kebawah sampai dadanya itu. Diusapnya air mata yang tersisa di pipi tembemnya, sambil menutup yasin yang sudah selesai ia baca. Kemudian ia pergi dengan mata sembab, yang mengisahkan jiwa yang sepi tanpa kasih sayang dari orang tuanya lagi. Hidupnya terasa hampa. Bagaikan balon, tampak berisi namun hampa.
Ia adalah Aishi, gadis kecil yang selalu dihadapkan dengan masalah yang tiada habisnya. Gadis kecil yang ketika berusia 4 tahun sudah ditinggal ibunya menghadap illahi. Gadis kecil yang kini tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik yang solehah bak bidadari surga yang selalu menebarkan kebaikan kepada siapapun yang ditemuinya, mirip sekali seperti ibunya. Ibunya yang pergi bersama calon adik bungsunya, meninggal akibat pendarahan yang hebat saat mengandung 8 bulan. Setelah kepergian ibunya, kini ayahnya lah yang menjadi ayah sekaligus ibu untuknya dan kakak-kakaknya.
***
“Abah” teriaknya sampai seisi rumah bergegar dengan suara cemprengnya. Karena tak mendapat respon dari abahnya, ia langsung berlari ke kebun yang letaknya di belakang rumah sederhana berwarna pink warna kesukaannya. Rumah yang ayahnya bangun lewat keringat dan usahanya sendiri selama beberapa tahun ini.
“Aishi, jangan lari-lari nak nanti kamu jatuh. Abah di sini lagi nyiram sawi. Kok kamu teriak-teriak gitu sih, bikin abah kaget.” Ucapnya setengah berteriak karena jarak dengan putrinya lumayan jauh. Sambil meletakkan ember yang berisi air untuk sawi-sawinya yang subur, ia menghampiri putrinya di pondok tua yang hampir roboh.
“Abah, lihat Aishi dapat juara 1 lagi bah.” Ucapnya sambil menunjukkan raport yang kini sudah berpindah tangan ke tangan abahnya. Tangan yang selama ini mencari nafkah demi keperluan anak-anaknya. Tangan yang tiada hentinya siang malam menjadi penompang hidup untuk keluarganya. Tangan yang akan menjadi saksi begitu keras pengorbanannya selama ini sehingga bisa kembali menjalani hidup sebagaimana orang lain. Dulu pertama kalinya mereka sekeluarga datang ke Kota Gurindam, kota yang menyimpan sejarah Melayu lama ini. Mereka benar-benar dalam keadaan krisis ekonomi. Ayahnya rela menjual kebun demi memperbaiki nasib di kota yang terkenal akan makanan yang menjadi ciri khasnya, yaitu siput gonggong. Kota kecil yang kurang dari 200.000 jiwa ini. Ditempat ini mereka mengadaikan nasib, itupun setelah mendapat saran dari Pak de nya dan mendapat tawaran mereka akan tinggal di rumah Pak de nya. Namun malangnya setelah uang hasil jualan kebun itu lenyap, mereka diusir dari kediaman pak de nya. Malang sungguh.
“Abah bangga nak.” Ucap ayahnya dengan matanya yang berkaca-kaca namun ia tak menetaskan air matanya karena ia tak ingin melihat putrinya itu sedih lagi, setelah apa yang mereka alami selama ini. Ia hanya ingin melihat putrinya bahagia. Kebahagiaan yang belum sempat ia berikan sepenuhnya untuk keluarganya.
“Abah sayang sama kamu nak” sambungnya lagi sambil memeluk erat putri bungsunya itu seakan putrinya adalah berlian yang harganya sangat menggiurkan bahkan lebih dari itu.
“Aishi sayang abah juga. Abah sehat terus ya.” Ucap Aishi yang tak tahan lagi membendung air matanya, yang selalu teringat akan masa lalunya yang kelam. Masa dimana mereka tinggal di Kijang. Di kedalaman hutan, yang bila dari jalan besar masuk perempatan sekitar 100 meter lalu masuk lagi ke lorong semak belukar yang jaraknya sama, kurang lebih 100 meter. Tidak ada tetangga, tidak ada penerangan hanya ada lampu minyak dari kaleng bekas yang kerap menemani malam-malam panjang mereka. Masa dimana ayahnya hanya bekerja sebagai pemecah batu.
“Bah makan yuk, Aishi lapar.” Aishi mengajak ayahnya makan, makanan yang telah abahnya masak sejak tadi pagi sebelum pergi berkebun. Masakkan abahnya yang tidak kalah dengan chef-chef terkenal yang ada di restoran mahal meskipun makanan yang ia masak hanyalah masakan kampung biasa saja, tapi soal rasa tak perlu diragukan lagi. Jempol deh buat ayahnya.
Setelah selesai makan, Asihi segera berganti pakaian. Ia akan pergi bekerja di konter milik guru ngajinya. Gajinya sebulan hanya 400, bekerja dari pukul 3 sore sampai 11 malam. Namun gaji itu sudah lebih dari cukup. Ia tak sempat menikmati indahnya masa remaja sebagaimana layaknya remaja yang lainnya, ia menghabiskan waktu remajanya dengan bekerja sambil belajar di sela-sela waktu lenggangnya. Ia terpaksa mencari penghasilan karena tuntunan pelajaran yang berat, yang mengharuskannya bolak balik ke warnet ditambah lagi ayahnya yang selalu sakit-sakitan dan mengharuskannya membeli obat demi kesehatan ayahnya.
Dari uang saku dan tabungannya kini Aishi bisa membeli laptop sendiri dan memiliki banyak novel dari penulis terkenal. Namun 3 bulan sebelum kelulusan ia terpaksa berhenti bekerja karena harus fokus dengan ujian nasionalnya. Namun malangnya setelah jatuh ditimpa tangga pula, penyakit ayahnya semakin parah. Ia mulai kehilangan konsentrasinya. Ia sering bolos terobosan karena harus menjaga ayahnya yang sedang sakit.
Sebagai seorang yag cerdas tentu saja, Aishi punya mimpi yang begitu besar, yaitu menjadi pakar ekonomi. Dua bulan sebelum ujian nasional dilaksanakan Aishi mendapat surat panggilan yang menyatakan ia lulus dan diterima menjadi mahasiswa di Universitas Riau. Namun sayangnya ia harus mengubur mimpinya karena penyakit ayahnya semakin parah, yang mengharuskannya untuk selalu menjaga ayahnya setiap saat. Setelah kelulusan, Aishi hanya di rumah menjaga ayahnya meskipun banyak tawaran beasiswa dan tawaran pekerjaan yang begitu menggiurkan. Namun ia tetap memilih menjaga ayahnya di rumah sedangkan kakak-kakaknya mencari uang untuk biaya pengobatan ayahnya di rumah sakit.
“Abah, abah makan ya. Satu suapan saja.” Ucapnya dengan nada pilu. Ayahnya menelan satu suapan, kemudian terdiam. Aneh tak seperti biasanya, biasa ayahnya selalu memuntahkan apa saja yang masuk ke dalam mulutnya. Tapi pagi ini ayahnya hanya diam. Aishi mulai panik. Digoncang-goncangnya tubuh ayahnya. Namun ayahnya tetap saja diam.
“Kak, abah kak. Abah kenapa?” tangisnya pecah membuat kakaknya yang sedang memasak segera mencari arah suara itu. Dilihatnya ayahnya, dan ternyata ayahnya telah tiada.
“Sabar dik, abah udah tenang disana.” Sambil memeluk adik bungsunya namun tangisnya juga pecah melebur menjadi satu dengan teriakan Aishi. Hati Aishi hancur, bukan ini akhir yang diinginkannya, setelah hampir setahun merawat ayahnya ia ingin melihat ayahnya sehat kembali, tertawa bersama di bawah pohon rindang yang ada di belakang rumahnya, menceritakan kekonyolan teman-temannya sewaktu di sekolah.
Lama sekali ia dan kakak-kakaknya bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya memang telah tiada. Aishi hidup bagaikan raga yang tak berjiwa, kosong. Hanya melamun, menangis dan melamun. Tiada hari tanpa ia lewatkan dengan mengunjungi makam ayahnya, hanya itu. Ia menutup dirinya dengan dunia luar.
Namun setelah 5 bulan kepergian ayahnya, ia mulai bisa menerima kenyataan, ia mulai bekerja di salah satu perusahaan. Ia mulai membuka diri lagi dengan dunia luar. Mencoba membuka kembali jaringan pertemanannya dan kini ia siap mejalani hari-hari seperti dulu tanpa kehadiran ayahnya lagi di sisinya.