Aku
masih berdiri kaku di pintu masjid khusus ikhwan, sembari mataku yang tak lepas
menatap laki-laki yang baru saja menyapaku untuk pertama kalinya setelah empat
tahun berada di universitas yang sama meski beda fakultas, jurusan apalagi. Aku
di jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia sedangkan kau adalah
mahasiswa akuntansi. Bahkan kita selalu bersama saat menunggu bus yang jalannya
entah kapan waktunya yang ditetapkan. Pulang pergi di satu atap bus selama
empat tahun belakangan ini. Namun untuk sekedar menyapa pun kita tak pernah
mampu. Kita bagaikan dua sisi uang logam, bersama namun tak pernah bisa saling
melihat, menatap bahkan saling menyentuh pun kita tak akan pernah mampu karena kita
berada di alur yang berbeda, alur yang memang kau ciptakan sendiri untuk kau
jalankan sebaik-baiknya begitupun dengan aku. Alur yang sebenarnya tak pernah
ku ciptakan, namun tetap harus ku jalani dengan penuh keikhlasan. Jika kalian
berfikir aku kuat, tentu salah besar. Karena disana, di saat keheningan malam
menyapa, aku menangis tanpa suara, meraung di dalam kebisuan. Bahkan aku
berontak di dalam kediaman. Aku berusaha berontak dengan kekakuan yang selalu
kau ciptakan. Dan aku dengan ego ku juga tak kalah hebatnya tengelam bersama
keheningan di setiap perjumpaan meski itu terjadi bertahun-tahun.
Kau
mulai mengangkat tangan, tanda memulai solat dhuha mu kali ini, dhuha yang
hampir selalu kita lakukan bersama di dalam masjid tercinta universitas kita,
masjid Al-Ikhlas. Tanpa direncanakan, kebetulan namanya. Begitulah kebanyakan
orang menyebutnya, padahal aku dan mereka percaya bahwa semua yang terjadi
adalah takdir-Nya, tiada yang kebetulan di dunia ini. Yang kadang-kadang
seperti kebiasaanku untuk “pacaran” begitulah aku menyebutnya pada
teman-temanku jika ditanyakan mau kemana yang sebenarnya adalah mengunjungi-Nya
dan dia di masjid. Tempat di mana aku selalu mengadu tentang perasaan ku pada
Rabbku. Kau pun juga begitu rasanya. Namun lagi-lagi pertanyaan ku muncul,
pertanyaan yang tak kau jawab di percakapan singkat kita beberapa menit yang
lalu. Kenapa harus kau pendam selama ini. Apa kau fikir aku adalah perempuan
yang sanggup berlama-lama dengan dugaan-dugaan yang ku buat sendiri, yang
kebenarannya pun tak pernah terjawab oleh siapapun. Seakan Dia pun bungkam atas
perasaan ini. Yang di setiap pertigaan malam selalu ku singgung walau hanya
segelintir, atau mungkin jawaban-Nya ada, namun aku yang kurang peka akan semua
itu.
“Nur”
suara yang selama ini selalu ku harapkan terlontar dari mulutmu, setiap aku
selesai mengambil wudhu. Aku tau kau hafal wajahku, tahu namaku, tahu kapan aku
ulang tahun, tau siapa saja teman dekatku, tahu kapan aku bangun di waktu pagi
hari dan kurasa lebih banyak lagi yang kau ketahui dibandingkan dengan yang aku
ketahui tentangmu. Namun aku tak mengerti tentang kebungkamanmu. Mungkin,
mungkin dan mungkin apalagi yang harus ku katakan pada diriku sendiri. Apakah
lelaki selalu begitu. Harus mementingkan ego ketimbang yang lainnya, atau mungkin
alasan lainnya yang menguatkanmu dan kemudian harus memperlakukan ku selalu
sama di setiap perjumpaan kita. Aku kira kau tak buta. Tapi mungkin saja kau
buta hati hingga menelantarkan rasaku begitu saja. Tega? Apakah pantas, kata
itu aku lontarkan untuk laki-laki sesoleh kau. Kesolehan yang selalu membuat
aku berkali-kali tertawan, kesolehan yang berkali-kali membuat aku kagum bahkan
sampai memuji-Nya tak henti-henti karena aku selalu dipertemukan denganmu yang
membuatku semakin bersemangat untuk lebih dekat dengan-Nya aku selalu meyakini
pepatah yang dibuat oleh entah siapa, “Dekati dulu Penciptanya kalau mau
dapetin ciptaan-Nya”. Aku bahkan selalu melontarkan kata-kata itu disetiap ada
teman yang curhat kepadaku tentang ikhwan yang ditaksirnya.
“Afwan
ukhti, kalo mau dapetin ciptaan-Nya deketin Penciptanya dulu ya.” Selalu itu,
tiada kurang tiada lebih. Hanya itulah senjata ampuhku untuk merespon setiap
curhatan-curhatan sahabat sahabat tercintaku. Yang sebenarnya aku pun tak tau
harus menjawab apa. Namun kata-kata itulah yang selalu mampu membungkamkan
mulut-mulut sahabatku serta menghentikan sejenak tangisannya yang pecah saat
malam menghampiri. Atau apakah aku setega itu mengatakan bahwa kau itu tega terhadapku?
sementara kita selalu diam. Kau bagaikan tak mengenalku yang jelas-jelas hafal
setiap jadwal kuliahku di setiap semesternya bahkan aku juga hapal
rutinitas-rutinitas apa saja yang kau lakukan selain kuliah. Apakah itu yang
dikatakan tidak saling mengenal? Kemungkin- kemungkinan apa lagi yang harus
kujawab atas pertanyaan ini. Aku tak sanggup lagi untuk merangkai kalimat setelah
kata “mungkin” kali ini atas pertanyaanku itu.
M.
Firdaus, lahir di Batam, 13 Agustus 1997. Mahasiswa fakultas ekonomi jurusan
akuntansi. Berasal di Batam. Kediaman orangtua di Batam. Anak tertua, mempunyai
2 orang adik perempuan kembar yang masih SMA. Setiap pukul 08.00 selalu ada di
masjid Al-Ikhlas pada hari kuliah. Itulah info-info yang kudapat selama empat
tahun mengagumimu. Hanya sebatas itu, karena diam emasmu itu berbeda dengan aku
yang tiap hari saat didalam bus nyerocos
seperti burung beo, menceritakan segala yang aku alami setiap harinya, padahal
aku termasuk tipikal yang pendiam, tapi saat bersama sahabat, aku memang
tipikal yang susah berhenti ngobrol
karena sahabat-sahabatku termasuk orang yang supel. Selalu saja ada bahasan
yang menarik perhatianku sehingga diamku itu hanyut begitu saja saat bersama
mereka.
Aku
selalu mengagumimu karena kau adalah remaja masjid. Tak jarang ku lihat, sedang
mengepel, menyapu atau bahkan menyusun mukena yang berantakan. Ngaji berjam-jam
di masjid jika sedang tidak ada mata kuliah, atau sekedar mendengar ceramah di
youtube melalui gadget yang kau punya. Sementara aku? Tukang mengotori lantai
bila musim hujan, dengan meletakkan sepatuku di batas suci dan kemudian setelah
aku pergi kau bersihkan bekas-bekas sepatuku yang tertinggal dilantai, darimana
aku bisa tau ini? Pernah suatu ketika kacamataku tertinggal, saat aku kembali
lagi, aku melihat pemandangan yang membuatku malu sendiri. Kau membersihkan
bekas sepatuku yang tercetak jelas di lantai batas suci. Waktu itu aku hanya
bisa menunduk sepertinya kaupun juga begitu selalu begitu disetiap perjumpaan
kita. Atau sekedar merapikan mukena yang sudah kuhambur hamburkan demi mencari
mukena kesukaanku yang tak pernah menyatu dengan roknya. Dan yang sangat ku kagumi
adalah hari dimana kau tak ada mata kuliah pun kau hadir, yang terkadang aku
berfikir mungkin saja, kau hanya ingin melihatku. Menatap dari kejauhan. Atau
sekedar melewatiku saat rebutan bus. Aku bahkan hapal, yang ku yakini adalah
masa-masa awal hijrahmu begitu juga aku. Kau menatapku tajam. Saat aku
melihatmu kau segera beralih kemana saja yang pasti bukan ke arahku lagi.
Tatapan tajam yang sampai saat ini pun masih terekam jelas di ingatanku.
“Ana
rasa, Nur tau siapa ana.” Aku segera membalikkan tubuhku. Aku lihat kau menjaga
pandanganmu. Aku juga segera melihat ke sekitar. Tak ingin berlama-lama
melhatmu. Karena aku rapuh dengan kebungkamanmu selama beberapa tahun ini. Dan
rapuh karena sapaanmu yang tak tepat ini. Kenapa baru sekarang? Kenapa tak
seminggu yang lalu saja?
“Ana…”
aku masih menunggu kau melanjutkan kata-katamu. Namun sejenak aku mulai resah,
aku melihatmu lagi, kau juga melihatku, seketika mata kita saling menatap. Lima
detik lamanya, kau beralih dan terdengar ucapan istigfar dari mulutmu meski
samar-samar karena jarak kita yang tak terlalu jauh.
“Apakah
Nur, sudah dikhitbah? Jika belum ana bermaksud ingin mengitbah Nur. Ana suka
Nur sejak awal mula bertemu Nur.” Aku masih menyimak dengan penuh penasaran.
Aku
lihat kau menarik nafas tanda akan memulai cerita yang telah kau persiapkan
jauh-jauh hari “Ana, tau cerita hijrah Nur. Jujur Nur, ana juga dulu belum
hijrah, karena jatuh cinta dengan Nur membuat ana menuju jalan hijrah ana. Ana
tau dulu Nur pake celana jeans, pake pashmina, pake baju lengan nanggung,
pakaian nerawang, jilbab nerawang dan jahiliyah-jahiliyah Nur lainnya. Semuanya
ana masih ingat. Awalnya ana mau deketin Nur, tapi ana kaget waktu itu. Waktu
itu hari pertama kita masuk kuliah aktif. Ana melihat Nur berubah drastis, baju
yang ketat kini berganti dengan baju yang benar-benar lebar di mata ana, jilbab
yang nerawang jadi tebal sekali bahkan ana melihat Nur menggunakan dalaman
jilbab dan yang lebih membuat ana kaget, jilbab Nur panjang sekali terjulur
menutupi dada. Dan ana melihat Nur menggunakan kaos kaki padahal ana yakin
sekali sebelum ini Nur gak pernah pake kaos kaki meskipun Nur mengunakan sepatu
kets. Ana ingin menikahimu Nur.”
Aku
hanya termangu mendengar ceritamu tanpa berkomentar sedikit pun, aku masih tak
percaya cinta kita memang nyata. Yang dulunya aku fikir hanya aku saja yang
merasakannya mungkin saja kau tak merasakan apa yang aku rasakan. Meskipun tak
jarang aku memergokimu menatap tajamku. Atau menghidupkan kipas angin dibagian
akhwat sewaktu hanya ada aku dan kau di dalam masjid yang ku fikir adalah
bentuk perhatian kecilmu untukku atau mungkin saja setiap ada akhwat yang masuk
kau memang sengaja menghidupkannya agar tidak kepanasan. Atau yang awalnya kau
sedang diluar masjid bersama temanmu setelah melihat kehadiranku, kau ikut
masuk dan kita melaksanakan dhuha bersama yang sempat aku berfikir bahwa kau
ingin menjadi imamku. Mungkin saja itu semua adalah kode darimu tapi apalah
dayaku yang hanya bisa menebak menebak dan menebak. Kau benar-benar
menjadikanku seorang manusia yang hanya bisa berandai-andai, menebak-nebak, dan
akhirnya kecewa sendiri.
Kita
masih saling diam setelah ceritamu yang panjang lebar tadi seolah membuatku
ingin berteriak padamu, memaki-maki dirimu karena keterlambatanmu mengatakan
semua ini. Aku melihat kau mulai ingin membuka bicara lagi. “Nur” kau menatapku
dengan ragu-ragu, aku hanya menunduk sambil menahan tangisku. Namun aku tak
kuasa. Airmata itu kini jatuh juga. Kau mulai panik.
“Nur,
kenapa?”
Aku
masih terisak-isak tak memperdulikan kata-katamu lagi. Setelah beberapa menit, aku mulai membuka bicara karena kau tak juga membuka suara. “Kenapa baru
sekarang kamu katakan ini, saya sudah dikhitbah.” Tangisku kini makin deras.
Mengalir begitu saja bagaikan air mancur tanpa peduli securam apa jurang itu,
mereka tetap mengalir bahkan dengan begitu cepatnya.
“Saya
sudah menunggu kamu selama empat tahun, menuruti setiap kebungkamanmu.
Menebak-nebak atas perasaanmu padaku.” Aku berucap pelan namun terdengar jelas
nada ketusku.
“Maafkan
ana sudah membuat Nur menunggu, ana masuk dulu Nur, mau dhuha dulu. Nur juga
masuk ya bentar lagi Nur masuk kuliah kan?” Kau berucap dengan tenangnya.
Entahlah apa yang kini tengah kau rasakan. Mungkin saja kau sedang menutupi
rasa sakitmu dengan melarikan diri dari hadapanku.
“Assalamu
mu’alaikum warahmatullahi wabarakatu” kau menutup pembicaraan yang benar-benar
tak membuat aku puas atas pengakuanmu, penjelasan yang akan membuat aku
menebak-nebak lagi, mungkin saja.
“Wa’alaikum
salam warrahmatullahi wabarakauh.” Aku menjawab sambil terisak-isak.
Aku
masih berdiri menghantar kepergianmu di waktu dhuha ini, pergi untuk selamanya
dari hatiku. Kau benar-benar membuatku kecewa, bahkan kau saja tak menjawab
pertanyaanku. Apakah kau masih ingin menjadikanku seorang perempuan dengan kata
mungkin dan mungkin. Atau karena memang sudah tak penting lagi semua ini kau
utarakan karena memang sia-sia saja. Aku segera beranjak. Air mataku masih saja
terus mengalir. Aku sudah tak peduli dengan air mata dan mataku yang bengkak
akibat tangisku ini. Aku hanya ingin mengadu pada-Nya saat ini atas semua
serpihan-serpihan kisah kita. Kisah tragis yang berakhir menyedihkan.
Setelah
selesai aku melihatnya masih saja mengadahkan tangan dengan kepala yang
tertunduk, entah apa yang sedang kau adukan pada-Nya aku pun kini enggan
menebaknya lagi. Aku benar-benar sudah lelah menebak-nebak semua tentangmu.
Aku
melepaskanmu dari hatiku diwaktu dhuha ini, waktu yang selalu menjadi saksi
bisu atas cinta yang bisu pula. Cinta yang ku pupuk sendiri, cinta yang ku
pendam sendiri, cinta yang tumbuh sendiri.