Aku menatap foto itu lebih lama
dari biasanya. Ku telusuri semua wajah yang terpampang di sana. Ada adikku,
ibuku dan Bapakku. Sebenarnya ada wajahku di samping Bapakku namun sengaja ku
crop karena ketika itu aku masih berada di zaman
ke-jahiliyahan-ku. Kini aku terfokus pada wajah Bapakku. Ku tatap lebih
lama daripada yang lainnya.
***
“Kak, Bapak tak mau nasehatin koe
macem-macem kak, koe pasti bosan kan kak, males ngerungok’e juga kan? Siji ae
pesen bapak? Ojo macem-macem di tempat orang, kalo koe wes memang arep nikah
ngomong, ojo nggae seng ora ora.” Ucap Bapakku serius.
Baru kali ini aku dinasehatin
secara pribadi. Hanya kami berdua. Dan nasehat yang menohok sekali. Mungkin
karna banyak kejadian yang membuat Bapakku memberikan nasehat seperti itu.
Aku hanya mendengarkan dengan
anggukkan pelan bila diperlukan. Dan terkadang aku mencuri pandang ke arah
Bapakku. Wajah itu benar-benar membuatku tak sanggup menatapnya.
Wajah gelisah itu sempat
tertangkap olehku walaupun Bapak berusaha menyembunyikannya.
Aku dan Bapak memang tak banyak
bicara. Banyak sekali sifat-sifat Bapak yang menuruniku, seperti halnya
menunjukkan rasa sayang, Bapak mungkin tak pernah memelukku. Seperti Bapak
temanku, yang bila ia bercerita aku selalu iri padanya. Tapi bapakku selalu
memelukku lewat doa-doanya. Lewat perhatiannya. Jika aku menginginkan sesuatu
bapaklah yang berusaha keras memeras keringat lebih banyak demi memenuhi
keinginanku meskipun tampaknya mamak yang selalu mengabulkannya.
Bapak lebih sering diam, setelah
aku meminta pada Bapak ingin kuliah di luar daerah. Masalah biaya, masalah
diriku, atau masalah-masalah apa lagi entah yang tak terfikirkan olehku mungkin
sedang berlari-lari di kepalanya.
***
Ku tatap lagi wajah Bapakku
sambil menghapus kenangan ketika aku akan pergi jauh darinya. Wajah itu mulai
berkerut. Bila ku ingat-ingat, Bapakku juga sudah mulai mempunyai rambut putih
yang disebut uban. Wajah lelaki terganteng yang pernah kumiliki ini, kini mulai
menua. Aku menghapus airmataku yang mulai berjatuhan. Ah, tentu saja ku hapus
karena aku ingin terlihat tegar dan terlihat kuat. Di hadapan orang lain atau
pada diriku sendiri.
Suara detik jam mulai terdengar
di telingaku, menandakan bahwa hari benar-benar sudah larut malam karena sebegitu
sepinya seperti tiada kehidupan sehingga suara detik jam yang bila siang hari
seperti benda yang benar-benar mati tanpa suara itu kini telah menjadi benda
mati namun bersuara.
Aku mulai teringat bila di
Kampung, waktu ini adalah waktu-waktunya Bapakku menyendiri. Duduk di dapur
sambil merenung. Entah apa yang dipikirkannya, bukan “entah apa” tapi terlalu
banyak sehingga bila dijabarkan akupun tak sanggup mengingatnya lagi dilain
waktu.
Airmataku kini tak terbendung
lagi. Aku mulai menepis tegarku. Airmataku kini mengalir semaunya melewati pipi
tirusku, aku ralat menjadi pipi kurusku. Pipi warisan dari Bapakku juga. Aimata
itu mengalir menuju mulutku. Tentu saja bila terasa asin aku mulai terhenyak
dan menghapusnya lagi.
Aku benar-benar merindukannya. Merindukan
tatapan hangat ketika aku baru pulang dari rantauan. Ku perhatikan lagi mata
itu sudah mulai sayu, mata yang lebih sering begadang dan bahkan tak tidur bila
aku sakit.
Ulangtahun Bapakku sebentar lagi,
yang ke 45 tahun ini. Aku berfikir kado apa yang akan ku berikan. Sebenarnya kami bukan tipe keluarga
yang suka merayakan ulangtahun, tapi kali ini aku benar-benar ingin memberinya
sesuatu lagian kala itu aku sedang liburan dan pastinya aku akan pulang ke
rumah.
Sebuah pelukan dengan ucapan
“selamat ulangtahun Pak”? Ah, aku sudah terlalu
sangat besar dan rasanya aku malu sendiri bila membayangkannya. Jika aku melakukan hal itu tentu saja Bapak
akan tertawa terpingkal-pingkal atau bahkan menangis haru.
Senyuman khas Bapakku itu selalu
membuatku tertawan. Ah, gantengnya Bapakku ralat abangku. Pernah, suatu ketika,
aku berobat. Dokter itu mengatakan bahwa aku adalah adiknya. Aku kadang
berfikir apa Bapakku yang masih terlihat muda atau aku yang terlihat tua kala
itu.
Tangan yang penuh dengan
goresan-goresan itu bila ku ingat aku merasa malu sendiri. Sedangkan aku apa?
untuk memegang pisau saja, aku takut-takut karena bila ada goresan, akan jelek
tanganku. Pikirku sampai sekarang. Ah, anak tidak tahu malu.
Tangan kokoh yang dulu selalu
menggendongku ke kamar jika aku tertidur di ruang keluarga. Bukan tertidur
sebenarnya sengaja tidur atau bahkan pura-pura tidur. Anak nakal.
***
“Kak, belajar masaklah kak, arep
koe kasi makan apa nanti bojomu. Indomie terus tiap hari.” Ucap Bapak ingin
mengusiliku. Sebenarnya menyindirku karena hari itu aku terpaksa masak, karna
mamak sedang ada urusan mendadak seharian. Tentu saja hasil masakkanku benar-benar buruk banget karna itu first
time. Aku saja lebih memilih goreng telur ketimbang makan masakkanku sendiri
tapi Bapakku yang benar-benar kukagumi itu dengan sabarnya memakan hasil
masakkan anak gadisnya yang entah tak dapat kubayangkan lagi kini. Bukan karna
malas masak lagi, tapi lebih menghargai perasaanku. Karna Bapak adalah chef
kebanggaan kami yang masakkannya wenak tenan.
“Iyalah indomie terus biar
rambutnya keriting.” Kini tak hanya Bapak yang mengusiliku bahkan Mamak dan
adikku ikut-ikutan mengusiliku.
***
Aku tertawa sambil menghapus
airmata yang merembes terus walau aku berusaha menghapusnya.
Bila dibandingkan dengan Bapak
mungkin saja Airmata Bapak kini telah habis.
Aku melihat keluar jendela
kemudian mmbersihkan diri dan mulai memejamkan mata.
“Aku akan memberikan kado yang
terbaik untuk Bapak.” Ucapku dan akhirnya terlelap.
***
“Pak” ucapku sambil menyodorkan
tangan ingin bersalaman.
“Selamat ulangtahun pak, hijrahku adalah kado yang ingin ku perlihatkan pada Bapak. Menutup aurat lebih
rapat dari biasanya. Menggunakan jilbab lebih panjang dari biasanya dan
berjilbab lebih lama dari biasanya. Selamat ulangtahun Pak” Ucapku dalam
hati.